Matahari beranjak mengangkasa. Lima perempuan manis itu meringis menahan rasa panas ketika kaki-kaki mungil mereka berjingkat menapaki batu-batu tepian Sunga Lematang. Mereka berbusana songket merah ceria dengan mahkota dan taburan aneka hiasan warna emas yang berkilau.Tampak di latar belakang mereka Bukit Serelo yang berada dalam naungan kelambu asap kebakaran lahan.
Apapun alasannya, mereka harus tersenyum memesona.
“Ini tari sambut,” ujar Fidriansyah Fieter Gumay, selaku koreografer. “Judulnya Sangkan Siheh.” Dalam bahasa Lahat, sangkan berarti karena atau sebab dan siheh berarti sirih. Setiap tamu akan kita sambut dengan tarian ini.”Pada zaman dahulu biasanya dipentaskan untuk para pembesar dan raja, ungkap Fieter, kini biasanya dipentaskan untuk menghormat pejabat negara.
Tari Sangkan Siheh biasanya dipentaskan paling sedikit oleh lima penari, atau maksimal 15 penari. Jumlahnya harus ganjil, bukan syarat mistik, melainkan syarat estetik lantaran satu penari harus membawa kotak sirih. Tradisi kapur sirih diduga mulai ada sejak 2.000 tahun silam, mungkin lebih awal. Berkembang di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga Madagaskar.
“Sampai sekarang masih ada tradisi kapur sirih di Lahat,” ujar Nurhidayati, salah seorang penari senior yang berusia 27 tahun. Dia telah menekuni hobi menarinya sejak sepuluh tahun silam. Salah satu prestasi dalam hidupnya adalah sebagai duta Kabupaten Lahat untuk menari di depan pengunjung Tong-Tong Fair atau Pasar Malam Besar di Den Haag, Belanda. Pasar malam bergengsi ini diselenggarakan setahun sekali sejak 1959.
Nurhidayati mengatakan bahwa tradisi kapur sirih masih terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lahat di pedalaman, namun hanya dilakukan oleh perempuan-perempuan tua. Racikannya, kapur dan sirih—tanpa pinang dan tembakau. Bahkan, tradisi itu masih berlanjut hingga zaman sekarang. Sangkan Siheh menawarkan sirih sebagai “kudapan” selamat datang bagi tamu yang berkunjung ke Lahat.