Apa Kesulitan yang Dihadapi Jika Penumpang Menyelamatkan Diri dengan Parasut?

By , Jumat, 16 Oktober 2015 | 09:00 WIB

Parasut tak bisa dipakai semudah menggunakan pelampung penyelamat yang tersedia di bawah kursi pesawat. Selain ukurannya juga harus pas dengan tubuh masing-masing penumpang, melakukan penerjunan dengan parasut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Menurut USPA (US Parachute Association), cara tandem adalah cara termudah dan paling popular untuk melakukan terjun payung atau skydiving untuk pertama kalinya. Peserta yang belum pernah melakukan terjun payung sebelumnya “hanya” membutuhkan waktu setengah jam untuk mengikuti instruksi di darat. Setelah itu penerjunan akan dilakukan dari ketinggian 13.000 kaki, dengan posisi tubuh berimpitan dengan seorang instruktur berpengalaman.

Sementara itu, pada penerjunan Accelerated Freefall, penerjun yang pertama kali melakukan hal ini dengan sistem parasut tersendiri dan ditemani oleh dua instruktur di sisi kiri dan kanan mereka.

Pada tahap ini, penerjun pemula harus menghabiskan empat hingga lima jam kelas pelajaran di darat sebelum terbang. Hal ini termasuk mempelajari manuver tubuh serta sinyal menggunakan tangan yang akan digunakan untuk berkomunikasi dengan instruktur saat di udara.

Setelah itu di ketinggian, para instruktur akan memegangi tali pengaman penerjun pemula, hingga ia mengembangkan parasutnya. Selanjutnya, pemanduan akan dilakukan melalui instruksi radio agar pendaratan dapat dilakukan dengan selamat.

Penerjun berpengalaman bahkan hanya bisa melakukan penerjunan pada ketinggian tidak lebih dari 15.000 kaki. New Zealand Parachute Industry Association bahkan tidak mengizinkan anggota penerjunnya untuk terjun pada ketinggian lebih dari 16.500 kaki.

Di atas ketinggian tersebut, penerjun harus menggunakan alat oksigen tambahan agar selamat dari risiko hipoksia atau kekurangan oksigen pada jaringan tubuh. Sementara pesawat komersial melaju pada ketinggian hingga 35.000 kaki.