Banjir adalah Sejarah yang Berulang

By , Jumat, 16 Oktober 2015 | 11:30 WIB

Jangan mengeluh kalau Jakarta kebanjiran. Lihat Kota Tua; banjir sudah terjadi disana sejak jaman kolonial. Tahukah Anda kalau banjir pertama kali terdokumentasi di Jakarta itu terjadi pada tahun 1699? Saat itu air sungai Ciliwung membanjiri Batavia setelah meletusnya gunung Salak. Sudah seperti sejarah yang berulang memang. Walaupun, banjir yang terjadi di Kota Tua menjadi sulit ditangani karena berada di dataran rendah.

Kota Tua sebenarnya adalah sebuah area unik yang punya banyak sekali potensi. Untuk merevitalisasinya kita mesti terus menjaga dan merestorasi bangunan-bangunan tua yang bersejarah juga melindunginya, termasuk dari ancaman banjir. Ironisnya, Hampir 90 persen dari area Kota Tua Jakarta merupakan bangunan dari abad ke-20.

"Saya sangat senang karena pemerintah sudah berusaha untuk membantu menjaga bangunan Kota Tua," ungkap Candrian Attahiyat, ahli arkeologi yang berpengalaman dalam konservasi Kota Tua Jakarta. "Namun, seringkali dijalankan atas perintah semata-mata." Akan lebih baik jika keinginan revitalisasi Kota Tua menjadi visi semua lapisan anggota pemerintah hingga ke akar-akarnya, demikian lanjut Candrian. Beberapa kali terjadi adanya proyek peninggian jalan yang sudah seperti lapis legit, berkali-kali. Memang jalan jadi tidak banjir, namun posisi bangunan tua jadi berada di bawah permukaan jalan sehingga terkena banjir.

"Peninggian sebuah lapisan jalan itu membahayakan, jika diterjemahkan sebagai bagian dari revitalisasi jangan sampai keliru," ungkapnya. "Yang benar adalah revitalisasi berdasarkan kelestarian."

Kisah pendek ini bagian dari Proyek Utarakan Jakarta – Speak up (North) Jakarta lewat laman www.utarakanjakarta.com. Proyek ini bertujuan untuk mengabarkan dan meningkatkan kesadaran tentang banjir di Jakarta, sekaligus menunjukkan urgensi untuk melindungi Jakarta dari banjir.

Utarakan Jakarta menggambarkan kehidupan empat warga yang hidup di balik tembok laut di Jakarta Utara. Gambaran tersebut menangkap soal perjuangan mereka melawan banjir, rumah yang terendam dan harga air minum di sebuah kota yang di ambang tenggelam. Kampanye memperlihatkan kekhawatiran, mimpi dan harapan mereka akan masa depan yang lebih baik. Simak juga kisah keempat warga tadi dalam "Di Balik Benteng Laut" yang terbit di Edisi Spesial National Geographic Indonesia edisi November 2015.