Tidak dapat dipungkiri bahwa kekeringan yang melanda tanah air ini adalah dampak dari menguatnya El Nino. Peningkatan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sebabkan berkurangnya curah hujan di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), provinsi Sumatra Selatan, Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi Selatan telah mengalami kekeringan sejak Agustus lalu.
Defisit air sebabkan ribuan petani gagal panen, seperti kerugian yang mereka alami di Pulau Jawa, lebih dari 111 ribu hektar sawah kering. Pada September lalu warga kabupaten Jeneponto, Makassar berebut air bersih bantuan dari pemerintah setempat. Selain menyalurkan bantuan air bersih, upaya pengalihan mata pencaharian sementara digencarkan oleh pemerintah, salah satunya dengan mengarahkan warga untuk beralih dari bertani menjadi berternak.
Bencana global ini telah menghimpit seluruh wilayah untuk bertahan hidup di tengah laju perubahan iklim yang kian pesat. Tetapi Enrekang, salah satu kabupaten yang terletak di jantung Sulawesi Selatan ini sanggup bertahan tanpa harus kehilangan jati dirinya. Meski kemarau panjang, masyarakat tetap percaya diri menanam benih di sawahnya. Masyarakat kini tetap bisa mengairi sawahnya dengan menggunakan air dari embung-embung yang telah mereka bangun.
Berdasarkan hasil studi IUWASH (Indonesia Urban Water Sanitation & Hygiene) kondisi geologi Enrekang yang tidak ramah terhadap air menyebabkan kawasan ini akan menjadi sangat kering di kala kemarau dan harus siaga bencana ketika hujan datang. “Topografinya didominasi bukit curam, dinding tegak vertikal, dan tentunya batuan kompak yang sangat sulit menyerap air. Langkah yang paling tepat untuk bertahan dalam kondisi ini adalah dengan memanfaatkan air yang akan terbuang cuma-cuma seperti pada saat musim hujan,” ujar Asep Mulyana, Spesialis Perubahan Iklim IUWASH.
Embung atau bangunan penangkap air ini berfungsi menampung air hujan serta air limpasan atau air yang mengalir dari sungai untuk memenuhi kebutuhan pertanian, perkebunan, dan peternakan. Sebelumya, warga berinisiatif untuk merelakan sebagian lahannya dan membangun penangkap air tersebut secara mandiri untuk kepentingan kelompok besar. Menyambut inisiatif tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan yang mengatur penggunaan sumber daya air, salah satunya adalah pembangunan embung dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 10,5 milyar di tahun 2015.
Usai pembangunan, embung tersebut akan dikelola secara mandiri oleh kelompok petani yang terdiri dari 20-30 orang. Salah satunya adalah embung yang dikelola oleh kelompok Sipaturu beranggotakan 23 orang di Dusun Landoke, Desa Pasui, Kecamatan Buntu Batu. “Kami tinggal menyediakan dana untuk pembuatan jalur air yaitu pipa sekurang-kurangnya 1,5 kilometer dari mata air dan biaya bahan bakar pompa untuk mengalirkan ke lahan kami,” jelas Rahim (45) ketua kelompok Sipaturu yang mendapatkan bantuan dana pembangunan senilai 65 juta rupiah.
Hingga kini terdapat 1.359 embung yang dapat menampung 4,2 juta meter kubik air yang belum bisa mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat Enrekang. Hal ini membuat para kelompok tani berharap pemerintah bisa menyediakan embung-embung hingga merata ke seluruh daerah Enrekang. Syamsuddin, Kepala Bidang Prasarana Wilayah dan SDA Bapeda Enrekang mengaku bahwa ratusan proposal pembangunan embung telah diajukan dan sedang dalam tahap seleksi. “Tidak semua lahan bisa dijadikan embung. Selain strategis menjadi tangkapan air, lahan serahan warga ini harus bebas dari sengketa. Kemudian dikelola oleh kelompok tani yang memang sudah terbentuk jauh sebelum program ini terlaksana, artinya mereka dituntut untuk komit dalam memanfaatkan embung sebagai kebutuhan bersama,” jelas Syamsuddin.