‘Perempuan penjahit bumi’ itulah gelar kehormatan yang disematkan untuk para petani wanita di Desa Pasang, Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Hidup di wilayah dengan tingkat kemiskinan 14,4% membuat para perempuan ini harus ikut bergerak untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-harinya.
Pengentasan kemiskinan masih menjadi isu yang harus segera dituntaskan bersama. Kepala Ketahanan Pangan Kabupaten Enrekang, Ahmad Fajar mengungkapkan bahwa infrastruktur yang tidak memadai menjadi salah satu penghambat akses pangan. Ketergantungan masyarakat terhadap beras membuat mereka harus melintas desa lain untuk mendapatkannya dengan biaya yang tak terjangkau. “Mereka membutuhkan transportasi untuk mengangkut beras dari desa lain dan itu tidak murah,” jelasnya.
Menghadapi kondisi tersebut, sejak 2009 Enrekang mulai mencanangkan program pangan mandiri. Para petani wanita digerakkan untuk menghidupkan kembali ketahanan pangan lokal. Dimulai dari budidaya gadung atau lebih dikenal warga dengan sikapa yang disiapkan sebagai pangan alternatif pengganti beras mulai tahun 2012 silam. Ubi sikapa sangat mudah dikembangkan, selain tumbuh liar di seluruh wilayah Enrekang, tanaman ini sanggup bertahan sampai di tengah musim kemarau.
Hal lain yang dilakukan adalah membekali setiap rumah tangga dengan satu embung. Embung merupakan bangunan penangkap air yang bisa digunakan untuk mengairi kebun sekaligus menjadi kolam untuk berternak ikan. “Jadi hasil yang masyarakat rawat selama ini bisa dinikmati secara langsung di atas meja makan mereka,” tambah Fajar.
Kehadiran embung di Kabupaten Enrekang sebelumnya merupakan inisiatif warga untuk dapat memiliki persediaan air di kala musim kemarau. Beranjak dari inisiatif ini pemerintah setempat melihat potensi ekonomi yang bisa dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat di tengah himpitan laju perubahan iklim.
Kreativitas tanpa henti mengantar para ‘penjahit bumi’ yang ada di Buntu Mondong pada nilai ekonomis. Keuletan mereka dalam mengolah hasil kebun telah menghasilkan ragam olahan makanan yang menarik dijadikan buah tangan. Di antaranya adalah brownies dan dodol salak yang tentunya mengandalkan buah salak hasil panen dari kebun.
Kelompok petani wanita yang beranggotakan lebih dari 20 orang ini memiliki jadwal rutin untuk mengolah ragam kudapan tersebut bersama-sama. Seperti pembuatan dodol yang menghabiskan waktu selama empat jam membutuhkan setidaknya lima tenaga untuk bergantian mengaduk adonan di tungku panas. Hasil kreativitas dan keuletan para penjahit bumi ini dihargai senilai Rp 10,000 setiap bungkusnya.
Nursiah (40) mengaku bahwa keuletan ini bisa membuka peluang untuk menambah pendapatan. “Kami selalu berlatih untuk menghasilkan olahan yang baru dan sekarang sedang dalam pencarian pasar untuk dapat menjual produk kami. Karena ini produk baru jadi menjualnya tidak semudah kopi yang sudah terkenal,” jelasnya.
Selain brownies dan dodol salak, sebelumnya Enrekang dikenal sebagai pemasok kopi dengan kualitas dunia. “Kopi arabika yang kami hasilkan popular dengan nama Kopi Toraja,” tutur Nursiah.