Mereka mendesak Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah segera mencabut izin pertambangan pasir di pulau tersebut.
"Pertambangan pasir hadir di Pulau Enggano untuk membuat 100 rumah transmigrasi, kami menolak pasir pulau digunakan untuk membangun," kata Berlian peserta aksi dari Yayasan Genesis, Kamis (23/10/2015).
Berlian mengatakan, ekosistem Pulau Enggano memiliki karakteristik yang rapuh mengingat keberadaannya di tengah Samudera Hindia.
Sebelumnya, kata dia, telah ada kesepakatan antara Pemda dengan masyarakat adat setempat bahwa untuk proyek pembangunan di atas Rp 500 juta maka material seperti pasir, kayu dan batu harus didatangkan dari luar pulau.
"Sementara sekarang pasir di pesisir pulau terus diambil, ini merusak mangrove dan pesisir," lanjut Berlian.
Kegiatan penambangan pasir menurutnya melangar kesepakatan dan UU nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penambangan pasir itu juga melanggar UU No 27 Tahun 2007 tentang Pulau-pulau Terkecil.
Sebelumnya kritik yang sama juga disampaikan kepala suku setempat, Rafli Kaitora, yang secara tegas menolak pembangunan permukiman transmigrasi dengan menggunakan material yang berasal dari pulau itu.
Pulau Enggano yang terletal di Samudera Hindia itu adalah wilayah Kabupaten Bengkulu Utara. Luas pulau itu sekitar 400,6 kilometer persegi yang terdiri dari enam desa yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu.
Enggano memiliki ekosistem yang unik, pantai, flora, fauna, vegetasi dan jajaran hutan mangrove yang masih alami.
Suku Enggano, menurut penduduk setempat terbagi dalam enam kelompok, yaitu suku Kaitora, Kauno, Kaahua, Kaaruba, dan Kaharubi.
Sementara masyarakat pendatang, oleh lima suku itu diberi nama Suku Kamay.
Untuk menuju Pulau Enggano dapat menggunakan kapal perintis atau feri dengan waktu tempuh sekitar satu malam mengarungi Samudera Hindia.