Kali ini, Yu Sing Lim, arsitek yang terkenal dengan ide pembangunan rumah ramah lingkungan dengan anggaran rendah akan mengutarakan pendapatnya tentang kaitan antara pembangunan dan masalah banjir.
Dalam pemahaman paling sederhana, semakin banyak bangunan yang dibuat, akan lebih banyak lahan dan tanah yang tertutupi; maka, air akan semakin sulit untuk masuk ke dalam tanah. Penyerapan makin sulit, sehingga terjadilah banjir.
Baca artikel terkait: Sumbatan, Air dan Banjir
Pekerjaan Lim sebagai arsitek yaitu tentu saja membuat berbagai bangunan dan rumah, namun ia juga harus memikirkan bagaimana cara untuk membuatnya ramah lingkungan.
“Maka, dengan Jakarta yang populasinya padat, saya suka untuk memberikan saran kepada para klien untuk mendesain sebuah bangunan dengan area hijau dan tempat penyerapan yang maksimal,” tutur Lim.
Baca pula: Banjir adalah Sejarah yang Berulang
Ia juga menyarankan mereka untuk mengelola limbah di lahan kita sendiri, bahkan kita bisa memanen air hujan untuk digunakan kembali agar dapat mengurangi penggunaan air tanah. Penggunaan air tanah dalam skala besar tanpa implementasi konservasi air yang memadai merupakan salah satu penyebab penyurutan tanah.
“Saya masih ingin menjadi arsitek, namun saya juga tidak ingin adanya banjir lagi. Jadi, saya berkontribusi dalam memberikan solusi bangunan,” kata Lim.
Baca juga: Jakarta Tidak Tenggelam Perlahan
Kisah pendek ini bagian dari Proyek Utarakan Jakarta – Speak up (North) Jakarta lewat laman www.utarakanjakarta.com. Proyek ini bertujuan untuk mengabarkan dan meningkatkan kesadaran tentang banjir di Jakarta, sekaligus menunjukkan urgensi untuk melindungi Jakarta dari banjir.
Utarakan Jakarta menggambarkan kehidupan empat warga yang hidup di balik tembok laut di Jakarta Utara. Gambaran tersebut menangkap soal perjuangan mereka melawan banjir, rumah yang terendam dan harga air minum di sebuah kota yang di ambang tenggelam. Kampanye memperlihatkan kekhawatiran, mimpi dan harapan mereka akan masa depan yang lebih baik. Simak juga kisah keempat warga tadi dalam "Di Balik Benteng Laut" yang terbit di Edisi Spesial National Geographic Indonesia edisi November 2015.