Tiada Kata Menyerah (2)

By , Kamis, 12 November 2015 | 17:00 WIB

Pasukan ini dibekali sejumlah mata uang gulden Papua. Cara mendekati sasaran dengan mengikuti jejak pasukan Belanda dan menggunakan penduduk setempat sebagai penunjuk jalan, tetapi apabila terjadi kontak senjata, penduduk itu melarikan diri. Dalam perjalanan terjadi beberapa kali kontak senjata. Yang gugur ditinggalkan dengan diberi tanda, sedangkan senjatanya disembunyikan.

Makanan memang sulit didapat, kalau kebetulan menjumpai tanaman rakyat seperti talas atau pisang, terpaksa dimakan dan sebagai gantinya ditinggalkan uang gulden sebagai pembayaran. Dalam perjalanan ini mereka bertemu salah seorang anggota Banteng Raiders ang terlepas dari induk pasukannya.

Jarak antara kampung Pasir Putih dan Kaimana sekitar 20 kilometer, tetapi ada jalan pintas melalui jalan setapak. Karena itu usaha Belanda mencegat para gerilyawan dilakukan melalui laut dari Kaimana dan pada tempat-tempat tertentu pasukan diturunkan ke darat untuk mengadakan patroli.

Semakin dekat ke Kaimana semakin sering terjadi kontak senjata. Setiap kontak senjata pasukan gerilyawan semakin terpecah dalam kelompok-kelompok kecil. Kendala utama yang dihadapi para gerilyawan adalah tidak adanya tumbuhan yang bisa dimakan. Perkampungan penduduk di sekitar Kaimana telah dijaga ketat pasukan Belanda dan mata-matanya. Kekurangan makanan menyebabkan kondisi fisik pasukan menjadi lemah, gerakan menjadi lamban dan akhirnya upaya pengamanan kurang diperhatikan.!break!

Keadaan medan dan perlawanan Belanda sebenarnya tidak berat, yang berat justru sulitnya mendapatkan makanan. Dalam suatu kontak senjata dengan musuh, Prada Surip bersama tiga temannya terpisah. Ia bersama tiga temannya yaitu Sabaruddin, Ijang Supardi dan Aipassa (PGT) berusaha mendekati perkampungan. Rupanya kedatangan mereka telah ditunggu Belanda, sehingga terjadi kontak senjata.

Kelompok yang semula empat orang ini terpecah lagi. Akhirnya Prada Surip tinggal sendirian. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran. Karena kondisi sangat lemah, akhirnya mereka tertangkap. Anggota pasukan lain di bawah pimpinan Heru Sisnodo, sampai terjadinya gencatan senjata terus melakukan gerilya di sekitar Kaimana. Berita gencatan senjata baru mereka terima melalui pamflet yang dijatuhkan dari udara, yang itupun mereka duga hanya tipu muslihat Belanda.

Letda Czi Moertedjo dengan tiga pengikut menjelang mendekati Kaimana, terjebak oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi kurang makan berhadapan dengan kekuatan Belanda yang lebih besar akhirnya mereka tertangkap.

Sepertinya saat melaksanakan gerilya di sekitar Kaimana, Jhon Saleky bersama Heru Sisnodo bertemu dengan kelompok perlawanan anti-Belanda dipimpin Mayor (Tituler) Lodewijk Mandatjan. Dalam sejarah perjuangan Trikora, kelompok Mandatjan dikenal sebagai penentang Belanda yang kemudian memilih masuk hutan untuk melaksanakan perang gerilya terhadap Belanda. Karena melihat anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) di tengah hutan, Mandatjan kemudian mengajak mereka untuk bergabung. Entah kedekatan apa yang terjadi di antara mereka. Saleky dan Heru Sisnodo didaulat sebagai anak angkat oleh Mandatjan.

Godipun sendiri tertangkap tanggal 7 Juni. Saat tertangkap, ia dalam pelarian seorang diri setelah kelompoknya terpecah karena diserang Belanda. Tanpa senjata karena disimpan di dalam hutan setelah bahunya tertembak, Godipun berjalan hingga tiba di sebuah pantai di Kampung Sisir. Ia pun lupa membawa bungkusan yang isinya kitab suci dan tertinggal di hutan. Di sini jejaknya terendus anjing pelacak Belanda. Beberapa orang penduduk lokal mengejarnya dari belakang sambil mengacungkan golok dan tombak. Dia mencoba untuk lari, namun dicegah oleh sebuah teriakan keras, Berhentiiiiii!!!

“Saya balik kanan, saya pikir saya akan digorok, tapi rupanya mereka tercekat melihat saya.“

Kalung Rosario yang tersembul dari balik bajunya mengagetkan para pemburunya. “Kamu agama apa?” tanya mereka yang dijawab singkat oleh Godipun, “Katholik.”!break!

Yang bertanya malah tidak percaya dan marah sambil berujar. “Bohong kamu, kamu babi Soekarno, bikin rusak tanah saya. Kamu mau hidup atau mau mati?!”