Tiada Kata Menyerah (2)

By , Kamis, 12 November 2015 | 17:00 WIB

Sambungan dari artikel Tiada Kata Menyerah (1)

Seperti yang lainnya, Godipun juga tersangkut di sebuah dahan. Malang baginya karena ransel peluru dan granatnya lolos ke bawah. Menggunakan tali, Godipun mencoba turun ke bawah. Namun dahan tempatnya bergantung tiba-tiba patah, sehingga ia jatuh di pinggir kali berlumpur. Untung lumpurnya cukup dalam, sehingga menjadi seperti matras. Hampir seluruh kakinya tertanam di lumpur. Setelah berhasil keluar, ia mendengar suara pluit di ketinggian, yang ketika dilihatnnya berasal dari Sarjono. Temannya ini tidak bisa turun karena sudah lemas. Oleh Godipun ditolong turun. Ia kembali naik karena ransel dan perbekalan temannya masih tersangkut di ranting.

Pada hari ketiga setelah bertemu teman-temannya yang lain yaitu Sahudi , KU I Fortianus, KU I Dompas, KU II Jhon Saleky, KU II Aipassa, dan tiga orang lagi yang namanya tidak diketahui, Godipun mengucapkan terima kasih pada Jhon Saleky karena tanpa sengaja menemukan granat dan ransel miliknya. Kakak kandung Jhon Saleky yaitu KU I Wim Saleky diterjunkan di Sorong tanggal 13 Agustus dalam Operasi Jatayu, Aipassa sendiri gugur tahun 1967 karena kecelakaan saat free fall di Margahayu.

Dua orang yang mengalami patah kaki, terpaksa dititipka kepada penduduk di sekitar Dropping Zone. Keluarga in ternyata sudah dibina Belanda, sehingga kedua anggota yang patah kaki tadi diserahkan kepada Belanda.

Komandan tim Lettu Heru Sisnodo memutuskan bahwa yang sakit yaitu KU I Sahudi dan Pratu Margono, sebaiknya tinggal di tempat karena jelas akan mengganggu gerakan pasukan. Pasukan ini mengalami kontak senjata dengan Belanda sewaktu memotong sagu. Dalam kontak ini, pasukan PGT tercerai-berai karena kekuatan yang tidak seimbang, di samping fisik mereka sudah lemah. Setelah tembakan berhenti, Heru memerintahkan Godipun membantu rekan-rekan yang lain.!break!

"Saya pergi dan menemukan bekas tempat mereka memasak sagu," ujar Godipun. Besoknya, Belanda kembali datang dan kembali terjadi kontak tembak, namun tidak ada yang terluka.

Dalam kontak tembak ini KU I Fortianus tertembak di dada dan tewas ditempat, sedangkan Pratu Suyono dari RPKAD berhasil meloloskan diri dan bertemu dua orang yang ditinggal karena cedera yaitu KU I Sahudi dan Pratu Margono. Pada 18 Juli, dua orang yang cedera ditambah Pratu Suyono tertangkap Polisi Belanda di abwah pimpinan Letnan Pol Ayal (asal Ambon) dan wakilnya Torar (asal Manado). Sebelum tertangkap, Margono sempat terlepas dari kedua temannya untuk menghindari patroli Belanda. Dia bertahan di pinggiran sungai dengan memakan pohon kates.

Pada suatu hari, Godipun disuruh menebang pohon pisang yang agak jauh dari induk pasukan. Begitu kembali, ia sudah tidak menemukan rekan-rekanya, pergi entah kemana. Dia berusaha menyusul. Sial baginya, di perjalanan ia disergap Belanda. “Angkat tangan, lempar senjata!” Salah seorang berteriak ke arahnya. Godipun langsung tiarap dan merayap menjauh. Karena tidak kunjung keluar, tembakan gencar pun diarahkan ke persembunyiannya.

“Saya betul-betul disiram,” kenang Godipun. Sebuah timah panas akhirnya mendarat di pundaknya. Sakit sekali sampai-sampai rasanya mau nangis. Pundak kirinya hancur dan tulang belikatnya mencelat keluar.

Nyaris sudah pasrah karena kondisinya cukup parah, Godipun masih berusaha untuk tidak tertangkap. Dia bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Entah ilmu apa yang dimilikinya, Belanda tidak berhasil menemukannya sampai akhirnya pergi. Tak lama kemudian, Godipun berusaha keluar. Rasanya tangan kirinya sudah tidak ada, kalaupun maih ada sudah tidak bisa digerakkan. Namun ia tidak menyerah. Sambil menahan sakit, Godipun terus berjalan sampai menemukan teman-temannya. Ia lalu mendapat pengobatan dari orang kesehatan RPKAD, Komaruddin.!break!

Mungkin kasihan melihat anak buahnya, besok paginya Heru menawarkan Godipun untuk menyerahkan diri. Dipikirnya dengan menyerahkan diri, anak buahnya ini akan mendapatkan pengobatan dari dokter Belanda.

“Komandan, kalau saya mau menyerah sudah dari tadi, sumpah prajurit tidak boleh menyerah,” jawab Godipun tegas dengan nada tersinggung.

Penangkapan ketiga orang ini akibat ulah penduduk yang kelihatannya cukup baik, namun sebenarnya kaki tangan Belanda. Pasukan yang dapat lolos setelah kontak senjata dengan Belanda kemudian bergerilya dan bertahan dalam alam yang ganas selama tiga bulan.

Pasukan ini dibekali sejumlah mata uang gulden Papua. Cara mendekati sasaran dengan mengikuti jejak pasukan Belanda dan menggunakan penduduk setempat sebagai penunjuk jalan, tetapi apabila terjadi kontak senjata, penduduk itu melarikan diri. Dalam perjalanan terjadi beberapa kali kontak senjata. Yang gugur ditinggalkan dengan diberi tanda, sedangkan senjatanya disembunyikan.

Makanan memang sulit didapat, kalau kebetulan menjumpai tanaman rakyat seperti talas atau pisang, terpaksa dimakan dan sebagai gantinya ditinggalkan uang gulden sebagai pembayaran. Dalam perjalanan ini mereka bertemu salah seorang anggota Banteng Raiders ang terlepas dari induk pasukannya.

Jarak antara kampung Pasir Putih dan Kaimana sekitar 20 kilometer, tetapi ada jalan pintas melalui jalan setapak. Karena itu usaha Belanda mencegat para gerilyawan dilakukan melalui laut dari Kaimana dan pada tempat-tempat tertentu pasukan diturunkan ke darat untuk mengadakan patroli.

Semakin dekat ke Kaimana semakin sering terjadi kontak senjata. Setiap kontak senjata pasukan gerilyawan semakin terpecah dalam kelompok-kelompok kecil. Kendala utama yang dihadapi para gerilyawan adalah tidak adanya tumbuhan yang bisa dimakan. Perkampungan penduduk di sekitar Kaimana telah dijaga ketat pasukan Belanda dan mata-matanya. Kekurangan makanan menyebabkan kondisi fisik pasukan menjadi lemah, gerakan menjadi lamban dan akhirnya upaya pengamanan kurang diperhatikan.!break!

Keadaan medan dan perlawanan Belanda sebenarnya tidak berat, yang berat justru sulitnya mendapatkan makanan. Dalam suatu kontak senjata dengan musuh, Prada Surip bersama tiga temannya terpisah. Ia bersama tiga temannya yaitu Sabaruddin, Ijang Supardi dan Aipassa (PGT) berusaha mendekati perkampungan. Rupanya kedatangan mereka telah ditunggu Belanda, sehingga terjadi kontak senjata.

Kelompok yang semula empat orang ini terpecah lagi. Akhirnya Prada Surip tinggal sendirian. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran. Karena kondisi sangat lemah, akhirnya mereka tertangkap. Anggota pasukan lain di bawah pimpinan Heru Sisnodo, sampai terjadinya gencatan senjata terus melakukan gerilya di sekitar Kaimana. Berita gencatan senjata baru mereka terima melalui pamflet yang dijatuhkan dari udara, yang itupun mereka duga hanya tipu muslihat Belanda.

Letda Czi Moertedjo dengan tiga pengikut menjelang mendekati Kaimana, terjebak oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi kurang makan berhadapan dengan kekuatan Belanda yang lebih besar akhirnya mereka tertangkap.

Sepertinya saat melaksanakan gerilya di sekitar Kaimana, Jhon Saleky bersama Heru Sisnodo bertemu dengan kelompok perlawanan anti-Belanda dipimpin Mayor (Tituler) Lodewijk Mandatjan. Dalam sejarah perjuangan Trikora, kelompok Mandatjan dikenal sebagai penentang Belanda yang kemudian memilih masuk hutan untuk melaksanakan perang gerilya terhadap Belanda. Karena melihat anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) di tengah hutan, Mandatjan kemudian mengajak mereka untuk bergabung. Entah kedekatan apa yang terjadi di antara mereka. Saleky dan Heru Sisnodo didaulat sebagai anak angkat oleh Mandatjan.

Godipun sendiri tertangkap tanggal 7 Juni. Saat tertangkap, ia dalam pelarian seorang diri setelah kelompoknya terpecah karena diserang Belanda. Tanpa senjata karena disimpan di dalam hutan setelah bahunya tertembak, Godipun berjalan hingga tiba di sebuah pantai di Kampung Sisir. Ia pun lupa membawa bungkusan yang isinya kitab suci dan tertinggal di hutan. Di sini jejaknya terendus anjing pelacak Belanda. Beberapa orang penduduk lokal mengejarnya dari belakang sambil mengacungkan golok dan tombak. Dia mencoba untuk lari, namun dicegah oleh sebuah teriakan keras, Berhentiiiiii!!!

“Saya balik kanan, saya pikir saya akan digorok, tapi rupanya mereka tercekat melihat saya.“

Kalung Rosario yang tersembul dari balik bajunya mengagetkan para pemburunya. “Kamu agama apa?” tanya mereka yang dijawab singkat oleh Godipun, “Katholik.”!break!

Yang bertanya malah tidak percaya dan marah sambil berujar. “Bohong kamu, kamu babi Soekarno, bikin rusak tanah saya. Kamu mau hidup atau mau mati?!”

Akhirnya Godipun dibawa ke sebuah rumah panggung di pinggir pantai. Di situ ia melihat cukup banyak kuburan yang masih baru. Apakah ada temannya di situ? Godipun hanya mengernyitkan dahinya.

Dia ditanya macam-macam seperti siapa komandannya, di mana dia, di mana teman-teman. Karena memang kesasar, ia tidak bisa memberikan jawaban. Setelah mendapat havernut—sereal dari gandum atau dikenal juga dengan oatmeal, minum dan sebatang rokok, siang itu ia dibawa ke rumah sakit untuk diobati.

Suatu hari di penjara, ia didatangi seorang pastor Belanda berjubah putih yang menawarkan sakramen pengakuan dosa. Ia diajak ke ruangan komandan polisi untuk melaksanakan pengakuan dosa. “Oleh pastor didoakan supaya Belanda dan Indonesia cepat damai dan saya cepat dipulangkan.”

Kemudian diketahui nama pastor itu Van Manen. Saat kembali ke kamar tahanan, ia melihat di sebuah meja sebuah bungkusan yang sangat ia kenal. “Saya bilang ini punya saya, puji tuhan,” ujarnya. Rupanya bungkusan itu berisi kitab Taurat dan Injil.

Setelah di penjara sekian lama, suatu hari mereka dibawa dengan pesawat Dakota ke Biak. Dengan mata ditutup, mereka dituntun ke dalam pesawat yang ternyata di dalamnya sudah banyak wartawan asing. Mencermati penuturan ini, sepertinya peristiwanya berlangsung setelah cease fire. Mereka pun difoto oleh sejumlah wartawan.

Di penjara Biak, Godipun bertemu Sarjono yang pernah ia turunkan pakai tali. Kenangan pahitnya bersama Sarjono adalah, ketika temannya itu memutuskan merebus sepatu karena sangat kelaparan.

Dari Biak mereka dipindah ke penjara Wundi. Pada bulan September mereka disuruh siap-siap naik kapal untuk dibawa kembali ke Biak. Di sini sudah menunggu Hercules milik UNTEA yang akan menerbangkan mereka ke Kemayoran, Jakarta.

Di akhir Operasi Banteng Ketaton di Kaimana diketahui bahwa PGT telah kehilangan sejumlah anggotanya. Mereka yang gugur adalah KU I Fortianus dan KU II Gintoro. Sementara yang terluka tembak adalah KU I Sahudi yang terluka saat terjun dan PU I G. Godipun. Ada pun yang gugur di Fak-Fak adalah SMU Picaulima, KU I Atjim Sunahju, KU I Sariin bin Djafar, PU I Lestari dan PU I Suwito. Dua orang yaitu KU I S. Bomba dan PU I Pardjo hanya mengalami luka ringan.