<i>Muniru</i>, Begadang Seru ala Masyarakat Gayo

By , Jumat, 20 November 2015 | 19:00 WIB

Di dataran tinggi Gayo, Aceh, malam-malam yang dingin membuat orang-orang berangkat tidur lebih cepat.  Tapi banyak juga yang tak bisa tidur.  Ini mungkin siksaan.  Bagi saya, ganguan tak bisa tidur adalah petaka yang membuat bangun pagi terasa seperti lepas diri dari lilitan tali yang ketat di sekujur tubuh.  Tapi orang gayo memiliki cara tersendiri, mereka menyebutnya muniru.

Biasanya, muniru dimulai dengan inisiatif salah seorang yang berkumpul malam hari membuat api unggun.  Orang lain yang melihat itu akan datang berkumpul di lingkaran api.  Sambil bercakap dan menyeruput kopi, orang-orang menghangatkan tangan dan bagian tubuh lainnya.  Tangan yang hangat diusapkan pada wajah hingga menimbulkan rasa nyaman.

Tapi di Kota Takengon, muniru tak akan banyak dijumpai kecuali orang-orang yang berkumpul di warung kopi.  Saya mendatangi salah satu warung yang juga menyediakan menu kopi arabika, warung kopi WRB.

Beberapa pemuda terlihat berkumpul walau tak ada api uggun.  Tapi mereka tetap menyebutnya muniru.

Barista di WRB punya nama keren, Marzuki Sofyan Bintang.  Saya memanggilnya Bang Jack, menyuguhkan secangkir sanger arabika pada saya.

Bang Jack menuangkan susu kental manis hampir memenuhi seperempat bagian dari cangkir.  Dalam hati saya berpikir, minum susu kental manis terlalu banyak tentu menghilangkan cita rasa kopi. 

“Jangan khawatir, kalau tidak mau terlalu banyak susu, jangan aduk semuanya,” kata Bang Jack.

Dia kemudian meletakkan cangkir di mesin pembuat kopi dan sesaat kemudian, air cokelat kehitaman menetes dari pipa kecil.  Walau tak banyak krema, itu adalah kopi kental yang keluar dari proses penyaringan pertama, espresso.

Muniru malam itu ditemani dengan kelakar dan kritik pedas atas kondisi kekinian.  Berbagai isu diperbincangkan hingga kematian. Di beberapa sudut kota, kegiatan malam juga diisi dengan obrolan seputar batu cincin yang kini sedang tren.

Beberapa pria tampak asik melingkarkan kain sarung di lehernya.  Hingga larut, satu per satu mereka pulang untuk tenggelam dalam selimut tebal.

Muniru hingga larut malam memang tak lengkap jika api tak dinyalakan.  Kabut sekilas tampak seperti bayangan kain putih tipis yang menyelimuti bukit-bukit.  Kabut itu lenyap bersamaan dengan hilangnya asap dari cangkir kopi yang panas.  Saya menyeruputnya lagi agar terbebas dari penat.