Belitung Punya Cerita, dari Meteor Jadi Batu Akik

By , Senin, 23 November 2015 | 15:30 WIB

 Belitung dalam lidah lokal menjadi "Belitong", ini sebabnya Andrea Hirata dalam novelnya lebih gemar menggunakan huruf "o" daripada "u" untuk nama pulau ini.

Namun, Belitung dalam lidah orang asing menjadi "Billiton".

Kata ini kemudian berevolusi menjadi "Billitonite", nama sebuah batu yang jadi khas Belitung.

Billitonite seperti dijelaskan dalam Ruang Literary Earth, Museum Kata Andrea Hirata, Desa Gantung, Kecamatan Lenggang, Belitung Timur, merupakan batu yang secara kimiawi tersusun atas senyawa silica (SiO2).

Batu ini termasuk jenis tektites, yakni batu yang terbentuk akibat lelehan permukaan bumi yang tertabrak meteor panas. Masyarakat Belitung lebih suka menyebut Billitonite sebagai batu satam.

Batu hitam pekat ini diperkirakan terbentuk akibat tumbukan asteroid yang jatuh di Teluk Tonkin, Indonesia, 800.000 tahun silam.

Demam akik menjadikan batu satam punya nama. Berbeda dengan akik lainnya, batu satam tidak memiliki bongkahan. Masyarakat mencarinya di sela-sela pasir bekas tambang timah dalam bentuk batu kerikil.

"Dia bentuknya sudah bulat-bulat begini saja, mungkin karena pecahan meteor, jadi tidak ada bongkahannya," ujar salah satu penjual batu satam, Teddy.

Untuk menilai kualitas batu satam tak perlu menggunakan senter. Nilai batu satam dilihat dari jumlah garis atau "urat" pada batunya. "Makin banyak, makin mahal dia," terang Teddy.

Sabtu (21/11/2015) siang itu, Teddy sedang asyik memoles koleksi batu dalam bengkel kerjanya di Galeri Lukis Laskar Pelangi, Desa Lenggang, Kecamatan Gantung, Belitung Timur.

"Itu batu satam, Bang?" tanya KompasTravel.

Teddy menggeleng dan mempersilakan masuk. Ia menampilkan koleksi batu satamnya. Ada lebih dari 30 batu, dari yang sudah bercincin hingga yang masih mentah.

Masing-masing batu dibanderol Teddy dengan harga Rp 170.000-Rp 250.000. Tetapi, ada satu yang ukurannya cukup besar dengan urat yang rumit bisa ia jual sekitar Rp 1 juta.