Peningkatan Pasokan Listrik di Kamp Pengungsi Bisa Selamatkan Nyawa

By , Jumat, 27 November 2015 | 17:00 WIB

Jutaan dolar dapat dihemat dan ribuan nyawa dapat diselamatkan dengan merombak cara penyediaan energi untuk kamp-kamp pengungsi, menurut sebuah laporan baru dari Moving Energy Initiative.

Para peneliti organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan minat sektor swasta untuk membawa teknologi-teknologi baru kepada beberapa masyarakat paling membutuhkan di dunia. 

Pengungsian global telah mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 59,5 juta orang telah dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka. 

Kamp-kamp pengungsi membengkak ukurannya, dan sumber-sumber daya untuk mengoperasikan mereka seringkali langka. 

 Moving Energy Initiative yang baru dibentuk, sebuah kolaborasi antara organisasi-organisasi kemanusiaan, menyerukan perombakan mekanisme penyediaan dan penggunaan energi di kamp-kamp pengungsi. 

"Kami yakin ada peluang besar untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan orang-orang yang sangat rentan ini dan juga membantu menghemat biaya dalam jangka panjang," ujar Glada Lahn dari kelompok kebijakan Inggris, Chatham House, yang menjadi bagian dari inisiatif ini.

Tagihan listrik terakhir dari kamp Zaatari di perbatasan Suriah di Yordania, mencapai US$8,7 juta (sekitar Rp 119 miliar), memaksa PBB untuk memangkas sambungan listrik. Namun 90 persen dari penghuni kamp-kamp pengungsi tidak memiliki akses untuk listrik, dan 80 persen bergantung pada kayu bakar untuk memasak. 

"Jika ada kompor memasak dan lampu energi surya, misalnya, kita bisa menghemat $323 juta per tahun, yang akan melunasi investasi awal cukup cepat. Bahkan ada solusi-solusi yang lebih baik, begitu mulai melibatkan tenaga surya atau hibrida tenaga surya, bentuk-bentuk lain dari energi terbarukan," ujarnya. 

Para peneliti memperkirakan 20.000 pengungsi meninggal setiap tahun karena polusi dari api dalam ruangan untuk memasak.

Mengumpulkan bahan bakar juga bisa berbahaya, terutama untuk perempuan.

"Perempuan tidak ingin meninggalkan tenda atau pondok di malam hari jika tidak ada lampu. Mereka berisiko menghadapi kecelakaan dan serangan. Kami mendengar begitu banyak kasus dimana perempuan dewasa dan anak-anak meninggalkan kamp untuk mengumpulkan kayu bakar dan berisiko diperkosa dan menghadapi serangan lainnya," ujar Lahn. 

Lahn mengatakan negara-negara penerima pengungsi seringkali enggan menyediakan fasilitas-fasilitas yang terlihat permanen. Namun para peneliti mengatkaan penggunaan teknologi-teknologi ramah lingkungan dapat menyelamatkan nyawa dan secara radikal meningkatkan standar-standar hidup kelompok paling rentan di dunia.