Menjejakkan Kaki di Laboratorium Sejarah Biak

By , Sabtu, 28 November 2015 | 11:00 WIB

Ketika akan bepergian ke suatu daerah, saya selalu suka mencari tahu kondisi geografis, keadaan masyarakat, penyakit endemik dan yang terutama adalah destinasi wisata. Pertama kali menuliskan kata “wisata Biak” di search engine, satu gambar yang muncul adalah gambar sebuah gua.

Sebagai pecinta gua dan sejarah saya sangat gembira bisa main-main ke tempat yang menjadi saksi sejarah Perang Dunia ke II. Barang-barang peninggalan PD II semacam amunisi, botol, senjata, kendaraan bekas tentara Jepang menjadi penyambut di pintu masuk. Kondisinya yang berkarat dimakan usia dan cuaca semakin mendukung kisah gua bersejarah ini.

Gua Jepang memiliki 3 pintu masuk, dua pintu masuk vertikal dan satu horizontal. Pengunjung harus melipir sedikit untuk menemukan pintu masuk horizontal gua ini. Tapi tidak perlu khawatir, cukup mengikuti jalan yang telah di paving maka dengan mudah akan menemukan mulut gua dengan lebar kurang lebih 15 meter.

Tidak tajam bau guano di gua ini tapi cukup membangkitkan kembali memori 2 tahun lalu. Masa dimana saya dan tim ekspedisi begitu akrab dengan bau ini saat mengunjungi sebuah pegunungan karst untuk menengok indahnya misteri gua di Borneo.

Rasanya ingin bersorak di depan mulut Gua Jepang ini, “Guanya masih hidup!” namun rombongan saya kali ini tidak mengerti betapa senangnya saya melihat gua yang telah berumur ratusan tahun dan  ratusan tahun lagi masih akan menumbuhkan stalagtit dan stalagmit baru.!break!

Gua ini menjadi saksi sejarah Perang Dunia ke II. Barang-barang peninggalan PD II semacam amunisi, botol, senjata, kendaraan bekas tentara Jepang menjadi penyambut di pintu masuk. (Priscillia Clara Suatan)

Saya melangkah turun meniti anak tangga. Ya, anak tangga yang terbuat dari semen lengkap dengan pegangan dari kayu. Saya mengingatkan diri saya bahwa ini adalah gua wisata, butuh fasilitas semacam itu untuk memancing wisatawan agar kehidupan ekonomi masyarakat meningkat.

Semakin kebawah udara menjadi lembab, langit-langit gua dengan tinggi sekitar 20 meter tidak menunjukkan adanya penghuni tetap di gua-gua. Mungkin para kelelawar mengungsi ke gua yang jauh lebih gelap dan lebih tenang. Tidak terdapat lorong lain di dalam gua ini, namun yang menarik terdapat vegetasi yang tumbuh tepat di dasar mulut gua vertikal. Sinar matahari dan hujan yang masuk membantu pertumbuhan tanaman dan membentuk taman didalam gua.

Berada di dalam gua bersejarah ini membuat saya membayangkan bagaimana para Tentara Jepang dapat hidup dan bertahan di dalam sini. Betapa besar pengorbanan setiap pelaku perang masa itu. Bagaimana pada masa perang dulu setiap detik adalah pertaruhan nyawa dan pilihan markas bisa dimana saja termasuk di dalam gua. Entah bagaimana cara mereka untuk dapat tetap tidur nyenyak di lantai gua yang basah dengan tanah yang liat dan udara yang lembab. Dan entah bagaimana jika saya yang harus tinggal di dalam gua itu dalam jangka waktu yang lama dengan nyawa yang terancam. Hiii…!