HIV/AIDS dan Budaya Patriarki di Indonesia

By , Selasa, 1 Desember 2015 | 19:00 WIB

Sebagian besar orang Indonesia masih malu untuk mengakui dirinya beresiko tinggi terkena maupun menularkan HIV/AIDS. Padahal, jika setiap orang mau jujur dan mengubah perilaku seksnya, angka penularan HIV/AIDS dapat ditekan secara signifikan.

Banyak di antara mereka yang punya perilaku seks bebas tidak menyadari dirinya adalah orang yang berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS, bahkan ke pasangannya sendiri. 

Dikutip dari Kompas.com, aktivis HIV/AIDS sekaligus psikolog klinis Baby Jim Aditya, mengungkapkan, berdasarkan pengalamannya dalam memberi konseling dengan banyak orang, rata-rata, laki-laki tidak ingin terkena HIV/AIDS namun juga tidak mau setia pada satu pasangan.

Ada pula yang suka melakukan hubungan seks dengan banyak orang, tetapi tidak mau melakukan seks aman dengan pakai kondom. Hal tersebut menjadi kendala terbesar dalam menangani penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Ibu rumah tangga menjadi kaum yang rentan tertular HIV jika suaminya merupakan orang yang memiliki perilaku beresiko tinggi seperti pengguna jarum suntik dan pembeli seks.

"Sekitar 4,9 juta dari mereka menikah dengan pria berisiko tinggi dan sebanyak 6,7 juta pria di Indonesia merupakan pembeli seks," jelas Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Sigit Priohutomo seperti dikutip dari BBC Indonesia.!break!

Namun, menurut Sigit, besarnya angka kumulatif tersebut tidak berarti prevalensi (kelaziman) HIV di kalangan ibu rumah tangga tinggi.

Data kementerian Kesehatan menyebutkan Ibu rumah tangga menempati urutan terbesar orang dengan HIV-AIDS ODHA, menurut kelompok mata pencahariannya, yaitu sebanyak 9.096.

Angka itu terungkap dalam laporan data kumulatif HIV-AIDS sepanjang tahun 1987 sampai dengan September 2015.

Pengaruh Budaya Patriarki

Budaya patriarki yang sudah mengakar kuat di segala lini kehidupan masyarakat Indonesia sedikit banyak juga berdampak pada penularan HIV pada ibu rumah tangga. Dalam realita sehari-hari, kesetaraan perempuan dengan laki-laki masih samar. Secara tidak langsung, budaya patriarki menjadikan perempuan sebagai sosok yang paling bertanggung jawab soal kelahiran anak. 

“Jahat sekali dampak dari budaya patriarki ini. Perempuan seakan-akan yang menanggung semuanya, sedangkan laki-laki bebas berhubungan seks dengan siapa saja. Tahu-tahu, pasangannya sudah sakit-sakitan, belakangan baru ketahuan kena HIV/AIDS,” tutur Aditya seperti dikutip dari Kompas.com.

Padahal, laki-laki seharusnya bertanggung jawab untuk tidak menularkan pasangannya, termasuk anaknya sendiri. Atas dasar hal itu, Baby berpesan, agar laki-laki khususnya, bisa lebih terbuka dan jujur kepada pasangannya masing-masing. Dengan bersikap begitu, masyarakat bisa menyelamatkan generasi selanjutnya dari penyebaran HIV/AIDS dan bagi yang tertular bisa cepat ditangani.