Pada 1938, ada sekitar 35 ribu orang Gipsi yang tinggal di Jerman dan Austria. Dinamakan demikian, mengacu pada asal mereka dari Mesir (kelompok etnis ini sejatinya berasal dari India utara). Sebagian besar gipsi mengacu pada orang-orang dari suku Rom dan Sinti.
Orang-orang Rom dan Sinti di Eropa sudah lama menderita diskriminasi dan pengucilan, dan semakin buruk di masa Reich Ketiga alias Jerman Nazi. Dengan munculnya Nazisme, beserta obsesi permurnian ras dan euginikanya, orang-orang Gipsi benar-benar di bawah ancaman.
Baca juga: Kisah di Balik Model Kumis "Sikat Gigi" Adolf Hitler
Rezim Hitler menyewa Dr Robert Ritter, Dr. Sophie Ehrhardt, dan perawat Eva Justin untuk melakukan penelitian terhadap silsilah masyarakat Rom dan Sinti di Jerman. Pada 1940, Ritter mengklaim bahwa 90% dari Gipsi di Jerman berdarah campuran dan juga produk perkawinan dengan orang-orang Jerman kelas paria.
Dengan logika ini, siapa pun dengan darah Rom dan Sinti, meskipun hanya setetes, dianggap asing oleh Jerman Nazi. Itu artinya, mereka dekat dengan kriminalitas dan berbahaya terhadap orang-orang asli Jerman. Dan dianggap layak untuk disingkirkan.
Puluhan ribu orang-orang Gipsi telah dideportasi ke kamp-kamp konsentrasi, di mana mereka dipaksa untuk bekerja paksa, dijadikan eksperimen medis, dan target pemusnahan. Sejarawan memperkirakan, rezim Nazi dan sekutunya telah membunuh sekitar 25% dari seluruh orang Gipsi di Eropa—kira-kira sekitar 220 ribu orang.