Keroncong: Dari Cavaquinho, Ukulele sampai Cuk-Cak

By , Minggu, 13 Desember 2015 | 16:00 WIB

Hal ini bermula dari banyaknya analisis yang menyebutkan bahwa musik keroncong berasal dari Bangsa Portugis, bukan kesenian asli Indonesia.

“Saya sudah ke Portugal dan saya tidak melihat ada keroncong (di Portugal)”, ujar Victor Ganap dalam jumpa pers Pasar Keroncong Kotagede di Restoran Omah Dhuwur (10/12), mengenang apa yang dikatakan (alm) Anjar Mudjiono kepadanya.

Anjar Mudjiono, lebih dikenal dengan nama Andjar Any, adalah seorang maestro musik yang popular lewat tembang-tembang ciptaannya, seperti Jangkrik Gènggong, Yèn ing Tawang Ana Lintang, Nyidham Sari, serta Taman Jurug.

Awalnya, Victor Ganap masih bertanya-tanya perihal apa yang dikatakan Andjar Any kepadanya. Namun, setelah melakukan penelitian, dia akhirnya percaya bahwa apa yang dikatakan Andjar Any benar adanya: di Portugal tidak ada keroncong. Alasannya, “Karena di Portugal sudah tidak ada Cuk dan Cak.”

Baik Cuk dan Cak, adalah alat musik mirip gitar berukuran kecil. Cuk, memiliki tiga dawai dengan bahan nilon, sedang Cak memiliki empat dawai berbahan logam.

Namun Victor menjelaskan bahwa nenek moyang Cuk dan Cak adalah alat musik Bangsa Portugis, yaitu cavaquinho. Hari ini, cavaquinho lebih dikenal dengan ukulele. Salah satu alasannya, alat musik itu memperoleh popularitasnya di Hawaii.

“Orang Hawaii heran, kok cara memainkannya (cavaquinho) digenjreng, bukan dipetik,” ujar Victor, “jadi seolah-olah seperti jari yang melompat”

Bahasa Polynesia dari ‘jari yang melompat’, ujar Victor, adalah ‘ukulele’. “Ajaibnya, dari ukulele itulah kemudian tersebar dan dikenal di seluruh dunia.”

Tapi kemudian, Victor yang merupakan akademisi sekaligus pengamat keroncong menemukan bahwa sebetulnya kelahiran keroncong lebih dulu daripada ukulele. “Keroncong sudah lahir di Indonesia sejak abad 17, sedang ukulele baru abad 19,” paparnya.

Penulis buku ‘Kerontjong Toegoe’ ini mengakui bahwa keroncong sampai ke Indonesia dibawa oleh pelaut Portugis. “Tapi jangan salah,” dia mengingatkan. “Pelaut Portugis tidak harus bule.” Menurutnya, orang-orang pribumi juga bisa menjadi pelaut Portugis, asal mereka penganut Katolik.