Hutan Menjadi Jembatan Transisi Energi

By , Selasa, 15 Desember 2015 | 07:00 WIB

Negosiator di Paris menghadapi pekerjaan yang sulit untuk meresmikan kesepakatan global untuk memangkas emisi gas rumah kaca untuk mencegah dampak terburuk perubahan iklim. Rindangnya tampilan hutan akan mengungkapkan solusi. Sebenarnya, pengelolaan hutan tropis bisa menstabilkan konsentrasi CO2 saat ini, sementara negara dan pihak tertentu lebih sibuk mentransisi bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi terbarukan.

Masalah Waktu

Negosiasi iklim membatasi pemanasan global dengan peningkatan antara 1,5 dan 2 derajat Celsius (2,7-3,6 derajat Fahrenheit). Untuk melakukan itu penggunaan bahan bakar fosil mesti diberhentikan, karena sekali CO2 memasuki atmosfer, efek pemanasan yang berlangsung selama berabad-abad.

Apakah pemerintah bisa bertindak cukup cepat? Ini akan menjadi sulit jika mereka hanya mengandalkan transisi dari fosil ke bahan bakar terbarukan. Luasnya hutan tropis di dunia dapat membantu hal ini, dengan menarik sejumlah besar karbon dari atmosfer, emisi yang lain akan berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pengelolaan hutan tropis dapat menarik sebanyak 3 miliar metrik ton karbon, senilai sekitar 30 tahun emisi karbon saat ini.

Kemampuan hutan menyerap karbon tidak dapat dibandingkan dengan emisi potensi cadangan bahan bakar fosil planet saat ini. Hutan jelas lebih bernilai ketika dibandingkan dengan potensi iklim-dalam menstabilkan pemotongan emisi yang akan diperlukan untuk menghindari pemanasan lebih dari 2 derajat Celcius. Jelas bahwa hutan mampu menyeimbangkan karbon, sementara dunia menyiapkan energi ramah lingkungan.

!break!

Para ilmuwan sering menjelaskan bahwa deforestasi menyumbang sekitar 10 persen dari emisi gas rumah kaca global di dunia setiap tahun, namun statistik mengaburkan peran unik hutan dalam bermain di iklim. Ketika petani membabat hutan untuk pertanian, memperhitungkan sumber emisi seperti mengolah tanah, deforestasi menghasilkan 4 miliar metrik ton karbon ke atmosfer setiap tahun. Walau demikia, pohon dan tanah juga menyerap karbon dari atmosfer, untuk 3 miliar metrik ton per tahun.

Emisi bersih dari deforestasi "hanya" 1 miliar metrik ton per tahun,  tampak relatif kecil dibandingkan dengan 9 miliar metrik ton emisi dari pembakaran bahan bakar fosil. Namun berdasarkan jumlah baku emisi masuk ke atmosfer, hutan tetap menjadi pemain utama dalam sistem iklim global.

Jika para pemimpin iklim bisa mengubah dinamika untuk mendorong deforestasi –jika mereka bisa mengajak petani di tepi hutan tropis yang luas dunia untuk tinggal di tanah yang sama, menjaga hutan yang tersisa utuh, dan memungkinkan daerah yang tidak digunakan dibersihkan untuk tumbuh kembali— potensi penyimpanan karbon benar-benar mengesankan.

Tidak hanya menghentikan 4 miliar metrik ton emisi pergi ke atmosfer, hal ini juga berarti bahwa dunia akan terus menikmati manfaat dari hutan dan lahan untuk menyerap karbon dari atmosfer. Kebijakan tambahan yang ditujukan untuk reboisasi dapat menyebabkan miliar ton emisi yang tersimpan di hutan, bukannya atmosfer. Skenario seperti itu akan memotong setengah dari total emisi global, dari 10 miliar metrik ton hari ini menjadi 5 miliar metrik ton.

Orang-orang pun tidak perlu melakukan ini selamanya. Setelah dunia berhenti memancarkan sejumlah besar gas rumah kaca, peran hutan 'sebagai penyerap karbon menjadi tidak lagi terlalu penting. Bidang kehutanan yang berkelanjutan menjadi jauh lebih mudah di zaman energi bersih dan rendah emisi.

Merubah penggunaan energi dengan bahan bakar fosil mungkin terdengar realistis untuk beberapa pihak, tetapi pada kenyataannya sama dengan melepaskan 10 miliar metrik ton karbon dioksida ke atmosfer setiap tahun, seperti yang dilakukan dunia saat ini. Tidak realistis dan bukan hal berkelanjutan. Ini harus dirubah.