Sungai Silaoinan yang membelah Kecamatan Siberut Selatan di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pernah populer pada 1980-an. Suguhan keindahan alam berpadu eksotisme budaya Mentawai mampu menarik banyak wisatawan. Setelah puluhan tahun berlalu, pesona Silaoinan tak berubah.
Siang itu, Boas Sabeleake (44) tengah membuat perahu berukuran panjang 9 meter dan lebar 70 sentimeter saat pompong yang kami tumpangi menepi di tepi Sungai Silaoinan di Dusun Magosi, Desa Muntei, Siberut Selatan, awal September lalu. Melihat kami, Boas pun menghentikan pekerjaannya. Lalu dengan ramah dia menyapa dan mempersilakan kami melihat lebih dekat perahu yang tengah dibuatnya.
”Membuat satu perahu butuh waktu beberapa minggu. Prosesnya dimulai dari mencari pohon ke hutan dan membawanya ke perkampungan. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembuatan perahu. Di bagian akhir, digelar pesta. Pesta sifatnya wajib sebelum perahu digunakan. Jika tidak, perahu tersebut akan cepat rusak. Kalau dilihat, prosesnya memang lama, tetapi menarik untuk diikuti,” kata Boas.
Pembuatan perahu adalah aktivitas masyarakat Mentawai yang bisa kita temui ketika menyusuri Sungai Silaoinan. Selain itu, ada berbagai siklus kehidupan masyarakat Mentawai yang bisa kita lihat secara langsung.
Sebelum tiba di Magosi, menyusuri Silaoinan dengan pompong, yang rata-rata berukuran panjang 9 meter dan lebar 60 sentimeter, selama beberapa jam dari dermaga kecil di Desa Muntei memang menegangkan sekaligus mengasyikkan.
Puluhan menit awal perjalanan memang jauh lebih mudah dan tanpa halangan karena jalur sungai yang dilewati masih lebar, yakni sekitar 20 meter. Tikungan juga tidak terlalu banyak sehingga pengemudi bisa lebih mudah mengendalikan perahu.
Situasi mulai berbeda ketika lebar sungai hanya 7 meter. Selain karena sungai semakin dangkal, tikungan juga semakin banyak. Sang pengemudi mulai bekerja keras mengendalikan laju perahu. Sesekali, dia harus turun ke sungai ketika perahu tersangkut sesuatu atau kandas.
Pada saat yang sama, banyak juga batang pohon yang menjorok ke sungai sehingga penumpang harus berkali-kali menunduk. Ada juga batang pohon sagu yang masuk ke dalam sungai membuat perahu berguncang ketika dilewati.
”Tenang saja. Semuanya terkendali. Teman-teman sebaiknya menikmati perjalanan. Lihatlah suguhan alam di kiri dan kanan kita,” kata Timo Salaesek (35), pengemudi pompong.
Mendengar itu, beberapa penumpang pun mulai melepaskan tangan mereka yang sejak awal berpegangan erat di bibir perahu. Mereka pun mulai mengeluarkan kamera. Sambil menjaga posisi duduk, mereka mulai mengarahkan kamera untuk mengabadikan apa yang terlihat di sekitar sungai.
Sepanjang pinggir kiri dan kanan Silaoinan memang memesona. Nuansa hijau dan asri tercipta oleh berbagai jenis pohon berukuran besar hingga kecil. Kicau burung berpadu suara gemercik air sungai membuatnya semakin eksotis.
Pohon sagu yang menjadi salah satu sumber makanan pokok warga Mentawai juga tumbuh subur. Di beberapa lokasi, kami menemukan warga yang tengah mengambil batang sagu. Setelah dipotong menjadi beberapa bagian, batang-batang sagu itu diikat lalu dihanyutkan ke sungai. Seorang warga naik di atas ikatan batang sagu itu untuk menjaganya.
Ladang-ladang warga, tempat pisang, keladi, dan tanaman lain tumbuh subur, juga menghiasi sepanjang Silaoinan. Di dekat ladang terdapat uma atau rumah tradisional Mentawai. Babi-babi yang diternakkan warga juga terlihat berkeliaran di sekitar kandangnya.