Setelah berunding selama dua minggu, sebanyak 195 negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB atau COP di Paris, Perancis akhirnya mengeluarkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Kesepakatan Paris merupakan kesepakatan internasional sebagai komitmen bersama dunia untuk memerangi perubahan iklim.
Berdasarkan perjanjian yang disepakati secara bulat itu, semua negara setuju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secepat mungkin. Selain itu, disepakati pula bahwa negara-negara di dunia berkomitmen untuk menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius (2C) dan berupaya menekan hingga 1,5 C.
"Usaha yang dilakukan bersama-sama akan lebih kuat daripada bertindak sendiri, karena tanggung jawab kita sangat besar," ujar Laurent Fabius, Presiden KTT PBB tentang Perubahan Iklim.
Dilansir dari Kompas.com, ada lima poin penting dalam kesepakatan internasional ini:
Pertama, perlu dilakukan upaya mitigasi dengan mengurangi emisi karbon dengan cepat, untuk menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius (2C) dan berupaya menekan hingga 1,5 C.
Kedua, sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi harus dilakukan secara transparan.
Ketiga, upaya adaptasi harus dilakukan dengan memperkuat kemampuan-kemampuan negara-negara di dunia untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Keempat, memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim, dari kerusakan.
Kelima bantuan, termasuk pendanaan bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Seperti dikutip dari BBC Indonesia, negara-negara kaya sepakat menyediakan dana 100 miliar dolar Amerika per tahun sebelum 2020 untuk membantu negara-negara berkembang guna mengubah perekonomian mereka.
Kesepakatan Paris tercatat sebagai perjanjian pertama yang melibatkan semua negara untuk mengurangi emisi karbon.
Usaha serupa gagal diwujudkan dalam konferensi di Kopenghagen tahun 2009. Menurut para pengamat, alasan utama konferensi gagal pada waktu itu adalah upaya untuk menetapkan sasaran pengurangan emisi pada masing-masing negara.
Ketika itu, banyak negara seperti Cina, India dan Afrika Selatan tidak bersedia menerima syarat yang dianggap akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.