Embara di Tanah Tapal Kuda

By , Kamis, 17 Desember 2015 | 19:30 WIB

Dingin menyeruak saat saya membuka jendela kendaraan. Tak ada deru mesin selain kendaraan kami yang merengek melintasi jalan menanjak. Hamparan lahan pertanian warga di sisi jalan menyisakan aroma tanah bercampur bahan penyubur nan menusuk hidung. Sementara, rumah di kiri dan kanan jalan menutup pintunya dengan rapat, tak terlihat sesosok tubuh pun yang berkeliaran. Perjalanan ke peraduan malam itu di Bromo laksana menuju kota mati.

Kami sudah terlalu malam tiba di Bromo. Tak ada yang bisa dinikmati saat malam begini. Mabrur dan Andik, dua teman seperjalanan saya, memberi isyarat untuk mencari penginapan. Raut wajah mereka terlihat lelah, tak mungkin memaksa mereka mengunjungi Balai Desa Ngadisari untuk sekadar bercakap dengan penduduk lokal. 

Kami datang disaat gunung ini sedang batuk-batuk. Otoritas berwenang menetapkan Gunung Bromo berstatus waspada, namun wisatawan masih diizinkan untuk berkunjung ke padang pasirnya. Keadaan ini tak sedikitpun mengurung niat para wisatawan untuk melihat Bromo dari dekat, termasuk saya.

Setiap subuh biasanya jip berisi pelancong merongrong melewati jalan desa, lalu menuruni hamparan padang pasir Bromo dalam kegelapan. Adapula yang menyewa motor meski harus berjuang menahan dingin udara Bromo kala pagi. Beberapa pengunjung yang ingin menghemat biaya memilih untuk berjalan kaki menuju Pananjakan II.

Di balik ingar-bingar para wisatawan yang datang berkunjung ke Gunung Bromo, orang Tengger masih hidup selaras dengan ajaran leluhur dan tradisi yang masih dipegang teguh hingga saat ini. Empat tahun lalu dalam kegelapan malam yang dingin, saya mengikuti upacara Yadna Kasada di Pura Luhur Poten yang berada di tengah padang pasir Bromo. Ratusan warga Tengger memadati Pura ini sejak dini hari. Waktu pelaksanaan Yadna Kasada yang selalu berlangsung pada musim panas, membuat udara di Bromo menyentuh titik paling dingin. 

Upacara Yadna Kasada mencapai puncaknya saat pagi akan menjelang. Sayur-mayur, uang koin, ayam, dan bahkan kambing akan dipersembahkan ke dalam kawah Gunung Bromo. Setiap tahun, upacara ini diadakan sebagai bentuk terima kasih kepada Yang Kuasa. Dari setiap persembahan ini, ada doa untuk keselamatan di waktu yang akan datang. Orang-orang Tengger penganut Hindu melakukan upacara ini setiap tahunnya. 

Bagi para wisatawan, Gunung Bromo adalah daya pikat. Sedangkan bagi orang Tengger, Gunung Bromo adalah tempat yang sakral, muara dari persembahan dan doa dalam upacara Yadna Kasada.

Kabupaten Probolinggo sebenarnya tak hanya sekedar Bromo. Kami menjelajah daerah-daerah yang pamornya masih redup tapi menyimpan pesona yang tak kalah menarik. Apa saja yang harus dikunjungi di Kabupaten Probolinggo selain Bromo? Simak kisah lengkapnya di majalah National Geographic Traveler Indonesia edisi Januari 2016.