Keberadaan masjid tak terhitung jumlahnya di Afrika Barat. Beberapa dicat kotak-kotak biru dan putih seperti permen, yang lainnya dibentuk dari unsur bumi seperti pot keramik.
Dari seluruh masjid yang ada, terdapat satu Masjid Raya yang sangat mudah untuk dikenali yaitu di Djenne, Mali.
Masjid Raya ini sangat megah jika dilihat dari kejauhan menghadap cakrawala dan menjadi salah satu monumen keagamaan yang paling dihormati di Afrika.
Dibangun hampir seluruhnya dari lumpur bata yang dijemur serta dilapisi tanah liat, masjid ini adalah contoh monumen yang terbesar dari gaya khas arsitektur benua hitam.
Dalam penghargaan untuk statusnya, Unesco telah menetapkan masjid ini sebagai Situs Warisan Dunia.
Sang arsitek, Ismaila Traore, kepala pekerja dan seorang Muslim, menggunakan bahan-bahan tradisional, termasuk sisipan batang sawit berbulu untuk fasadnya.
Namun, sebagian sejarawan telah mencatat, desain keseluruhan masjid ini menganut gaya neo-Sudan yang dipromosikan oleh Perancis, saat memberikan tampilan yang seragam untuk semua properti Afrika Barat.
Meski diklaim masih asli, tidak bisa dipungkiri, masjid ini terus berubah. Iklim panas yang cukup lama kemudian disusul iklim hujan deras terus menerus, merusak arsitektur yang terbuat dari lumpur dan bata ini.
Celah dan kebocoran cepat tumbuh dan berkembang. Jadi setiap tahun sejak Masjid Raya dibangun, diperlukan lumpur tambalan baru. Penambalan ini menjadi kegiatan tahunan yang disebut warga Djenné "Crepissage de La Grand Mosquée".
Penambalan atau renovasi tersebut telah berhasil mengawetkan struktur. Meski demikian, dari waktu ke waktu, secara halus juga mengubah struktur.
Karena pekerjaan renovasinya mencakup pembulatan dan pelembutkan kontur yang memberikan tampilan cair dan biomorphic. Kuat tanpa pengerasan.