Pelestarian Satwa Bukan dengan Asal Melepas

By , Kamis, 7 Januari 2016 | 10:00 WIB

Niat baik tak cukup dalam melepaskan satwa kea lam guna melestarikan spesies demi keberlanjutan ekosistem. Pelepasliaran satwa wajib didahului studi dan pemahaman, antara lain untuk memastikan habitatnya sesuai dan satwa tidak membawa penyakit. Tanpa itu, pelepasliaran malah bisa mengancam keanekaragaman hayati.

Jika pelepasan satwa untuk kegiatan peduli lingkungan, publik diminta mengikuti tata laksana yang pas, termasuk melepas spesies-spesies burung. “Jangan sampai ketersediaan pakan kurang sehingga burung sulit bertahan hidup di alam, atau malah jadi spesies asing yang invasif,” kata Kepala Divisi Komunikasi dan Pusat Pengetahuan Burung Indonesia, Ria Saryanthi dari Bogor, saat dihubungi Selasa (5/1).

Spesies asing merujuk pada spesies fauna atau flora asal luar negeri, atau asal dalam negeri tetapi dari daerah lain. Spesies asing invasif adalah sepesies yang mengancam keberadaan spesies-spesies lokal.

Ria mengemukakan hal itu menanggapi maraknya pelepasliaran satwa, termasuk pelepasan burung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor. Presiden melepas 190 burung yang dibeli dari Pasar Burung Pramuka, Jakarta. Jenis yang dilepas antara lain jalak kebo (Acridotheres javanicus), jalak nias (Acridotheres tristis), jala suren (Sturnus contra), puter (Streptopelia bitorquata), perkutut (Geopelia strata) dan trucuk (Pycnonotus goaiavier).

Marison Guciano, Investigator Senior Yayasan Scorpion Indonesia, lembaga swadaya masyarakat yang memantau perdagangan satwa liar, pelepasan di Istana Bogor itu, di antaranya ada spesies invasif, yaitu jalak nias. Jalak nias butuh banyak makanan dan relative lebih kuat dibandingkan sejumlah burung lokal di Bogor. “Sebagai kompetitor kuat akan menyingkirkan populasi burung lokal,” ujarnya.!break!

Ria menambahkan, pelepasan burung juga harus memastikan lokasi sesuai habitat asli burung. Itu untuk menjamin burung menemukan pohon pakan yang memadai untuk bertahan hidup. Jika tidak, pelepasan tidak akan berguna karena burung cepat mati.

Menurut Marison, kesehatan burung juga wajib diperiksa sebelum dilepas agar tidak menularkan penyakit ke satwa lain. Burung yang berbulan-bulan ada di Pasar Pramuka berpotensi terpapar kuman satwa lain.

Pelepasan ikan

Selain burung, pelepasliaran ikan juga memerlukan kajian. Peneliti ikan air tawar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Renny K Hadiaty, mengatakan pelepasan ikan tak bisa sembarangan. Spesies asing harus dihindari agar tidak berkompetisi memangsa pakan ikan lokal. Pelepasan ikan asli setempat , bukan jenis asing, lebih penting agar jenis lokal tidak punah.

Renny mencontohkan, pada tahun 1920 ada 187 jenis ikan di Sungai Ciliwung dari hulu hingga hilir. Dari penelitian 2009-2010, ia dan tim hanya mendapatkan 20 jenis, 5 jenis di antaranya ikan asing. Populasi spesies asli yang tinggal 15 jenis akan semakin terdesak dengan dilepaskannya ikan asing karena terjadi kompetisi ruang, pakan dan kesempatan bereproduksi. Akibatnya, jumlah jenis ikan bisa berkurang lagi.

Ria berharap pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat pedoman resmi bagi masyarakat yang ingin melepas satwa ke alam agar benar-benar selaras dengan pelestarian lingkungan. Menurut dia, KLHK bisa menerbitkan pedoman dalam bentuk Peraturan Menteri LHK dalam 3-6 bulan ini. Hal ini karena konsep pedoman sudah ada. Jangan sampai niat baik berujung petaka.