Kualitas Air Tanah Jakarta Sudah Kritis

By , Sabtu, 9 Januari 2016 | 08:00 WIB

Kualitas air tanah di wilayah Jakarta dalam kondisi kritis. Sebagian besar air tanah, baik di akuifer bebas maupun akuifer tertekan, sudah tidak memenuhi standar kualitas air minum yang disyaratkan pemerintah. Kandungan senyawa garam, mangan dan besi yang berlebih tersebar di bagian utara Jakarta sampai wilayah Kota Depok di selatan.

Hasil pemantauan air tanah di cekungan air tanah (CAT) Jakarta oleh Balai Konservasi Air Tanah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2015 menunjukkan, untuk lapisan akuifer bebeas, dari 85 lokasi sumur yang dipantau, hanya ada 16 lokasi yang memenuhi baku mutu. Di lokasi akuifer tertekan, dari total 69 lokasi yang diambil sampelnya, hanya 12 lokasi yang airnya memenuhi baku mutu.

Standar baku mutu yang digunakan sesuai Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Air Minum. Kegiatan pemantauan ini berlangsung sejak maret hingga Desember 2015 dengan pengambilan sampel air minum di 154 lokasi.

Kepala Balai Konservasi Air Tanah Kementerian ESDM Muhammad Wachyudi Memed mengatakan, secara umum kualitas air tanah di CAT Jakarta dalam kondisi tidak baik. “Di bawah baku mutu yang disyaratkan. Kalau dilihat sebarannya, di wilayah utara, barat dan timur Jakarta mengandung NaCl (garam). Sementara di bagian tengah hingga Depok beragam,” ucapnya di Jakarta, Rabu (6/1).

Sumur yang air tanahnya mengandung garam berlebih, antara lain, ditemukan di sekitar Cengkareng, Kamal Muara, Penjaringan, Ancol, Cakung, sekitar Bekasi dan bahkan di Kuningan, Jakarta Selatan.

Menurut Wachyudi, kandungan garam hampir bisa dipastikan berasal dari intrusi air laut, terutama untuk wilayah utara Jakarta. Sementara kandungan zat lain seperti mangan (Mn) dan besi (Fe), bisa berasal dari batuan atau sumber luar. “Dan itu membutuhkan penelitian lanjutan. Kami baru tahun ini mengumpulkan data awal yang lengkap agar menjadi dasar penelitian-penelitian selanjutnya,” ujarnya.

Kepala Seksi Pengembangan Teknologi Konservasi Air Tanah Balai Konservasi Air Tanah Kementerian ESDM Arief Darianto menambahkan, temuan ini juga memperlihatkan sejumlah anomali. Beberapa sumur, khususnya akuifer bebas, yang masuk kategori baik justru berada di wilayah utara yang dekat laut.

Arief menduga, hal itu disebabkan lokasi sumur yang kebetulan masih cukup baik. “Tetapi hasil ini bukan hasil yang statis. Bisa saja dalam penguuran ke depan, kandungan senyawanya berubah,”kata Arief.

Menurut dia, air tanah yang tak memiliki standar baku mutu tidak bisa diminum dengan hanya dimasak. Dibutuhkan sejumlah tahapan pengolahan sehingga air aman untuk dikonsumsi. Hal itu bisa dengan pengolahan kimiawi menggunakan zat lain atau penyaringan sesuai kandungan senyawa yang berada dalam air.

Kualitas air tanah yang buruk ini belum menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah setempat. Data Dinas Tata Air DKI Jakarta, 2015 menunjulan, jumlah pemakai air tanah secara legal meningkat dari tahun 2011 ke 2014. Pada 2011, jumlah pemakai air tanah sebanyak 4.231 lokasi, sementara tiga tahun setelahnya mencapai 4.431 lokasi.

Dengan jumlah itu, pemakaian air tanah mencapai 8,8 juta meter kubik pada 2014, meningkat daripada tahun sebelumnya yang hanya sekitar 7,2 juta meter kubik. Ini hanya untuk pengguna yang tercatat.

Peruntukan air tanah bagi warga Jakarta beragam. Sebagian besar hanya untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan air tanah dikonsumsi karena pasokan air bersih masih minim.