Masa liburan sekolah bisa jadi adalah masa yang ditunggu-tunggu, tetapi terkadang akan menjadi problematik begitu jadwal cuti kerja orangtua tidak sesuai dengan jadwal liburan sekolah anak-anak. Maka, jika pada akhirnya liburan hanya dihabiskan tanpa ke luar kota, lalu muncul pertanyaan: hal menarik apa yang bisa kami sekeluarga lakukan? Tontonan menarik apa yang bisa dinikmati orangtua dan anak-anak?
Berlibur ke kota-kota urutan teratas tujuan wisata bisa jadi salah satu opsi kegiatan menghabiskan liburan. Jika akhirnya Yogyakarta menjadi pilihan, seringkali pertanyaannya, “Akan ke mana lagi kita? Kalau mau cari hal baru, enaknya ke mana ya? Sudah hampir semua tempat kita datangi, mana lagi yang belum ya?”
Mungkin pertanyaan yang sering berseliweran seperti di atas lah yang kemudian mendorong sekelompok orang beragam profesi di bawah payung Piamare Creative Company memprakarsai pertunjukan “Kekwa! Alami Mimpimu”. Sebanyak 25 pemain (terdiri atas 14 pemain anak-anak dan 11 pemain dewasa) akan menjadi lakon dalam pertunjukan ini. Mereka terpilih dari proses audisi terbuka yang digelar pada 24 dan 25 Oktober 2015. Setiap aktor mengikuti latihan rutin yang dilaksanakan tiga kali dalam sepekan dan mengikuti serangkaian workshop seperti olah vokal, koreografi, menyanyi, dan akting.
Pertujukan teater semi musikal ini diadakan selama tiga hari berturut-turut: 27, 28, dan 29 Desember 2015. Di setiap hari, ada dua sesi pertunjukan, yakni pukul 16.00 dan 19.30 WIB, dengan durasi kurang lebih 90 menit.
“Kekwa! Alami Mimpimu!” bercerita tentang perjalanan melintasi waktu oleh sekelompok orang dewasa dan anak, dimotori oleh Kekwa—anak lelaki kepala suku Amungwa. Misi mereka adalah mencari Te Ao, legenda pohon kehidupan. Awal kisah adalah perseteruan dan ketegangan antar dua suku: Aiduma dan Amungwa. Yang satu adalah penghasll minyak, satunya lagi adalah penghasil air. Selama ini mereka melakukan barter kekayaan alam mereka. Semua berjalan lancar, hingga suatu saat, suku penghasil minyak merasa dicurangi oleh mitra barter mereka karena jumlah pasokan air terus berkurang. Suku penghasil air tidak rela disebut berbuat curang, karena sesungguhnya air semakin sulit mereka dapatkan. Siapa sih yang bisa hidup tanpa air? Di tengah perseteruan itu, Danum—anak perempuan kepala suku Aiduma—mendapat pesan gaib melalui mimpinya tentang Te Ao—legenda pohon kehidupan—yang dipercaya menjadi jawaban atas kelangkaan air dan akan menyelamatkan kehidupan umat manusia. Perjalanan melintas masa dengan mesin waktu membawa mereka ke pengalaman yang penuh tantangan dan rintangan.
Musik dan elemen artistik pertunjukan ini memikat. Panggung utama dan sebagian besar elemen artistik pertunjukan ini relatif sederhana. Namun, beberapa elemen artistik tampil menakjubkan—bahkan untuk saya yang sudah 40 tahun!—terutama mesin penjelajah waktu, mesin-mesin, dan peralatan kerja Apangsingik, ilmuwan sepuh di suku Amungwa. Kostum para pemain tampil apik dengan dominasi warna alam: coklat, krem, hijau lumut, merah bata, dan hitam. Secara visual tampil berimbang dengan tata lampu yang mampu menjadi bagian dari dramatikal pertunjukan.
Dipentaskan di gedung olah raga yang sekian lama belum maksimal difungsikan setelah bertahun selesai dibangun, panggung dibuat efektif dibuat dengan pembagian area penonton menjadi tiga bagian. Bagian tengah merupakan area terbaik, karena seluruh adegan bisa dilihat sempurna. Area kiri dan kanan panggung cukup terganggu karena tertutup tiang kiri-kanan terdepan panggung. Ini mungkin salah satu faktor yang membedakan harga tiket pertunjukan, yang bervariasi: mulai dari Rp 75.000, Rp 100.000, dan Rp 150.000.
Sebagai sebuah tontonan yang diperuntukkan bagi keluarga, pesan moral untuk menjaga alam tetap lestari mampu disampaikan dengan mulus. Bagi mereka yang memiliki jam terbang apresiasi seni pertunjukan yang cukup tinggi, pertunjukan “Kekwa! Alami Mimpimu” bisa saja belum mampu memenuhi harapan. Misalnya saja tentang penampilan aktor dan aktris anak-anak dan dewasa yang masih canggung ataupun artikulasi mereka yang tidak cukup jelas. Tidak bisa dinafikan, ini adalah salah satu tantangan terbesar dari sebuah pementasan dengan rekrutmen berbasis audisi. Sejak proses audisi hingga latihan yang “hanya” dua bulan, tentu tidak bisa disejajarkan dengan kematangan pemain teater yang pengalamannya sudah tahunan. Persoalan teknis yang saya alami di sesi pertama pada hari pertama, saya harap tidak terjadi pada sesi-sesi selanjutnya.
Ada harapan yang cukup besar apabila project pementasan ini akan dibuat reguler pada musim liburan. Dengan modal formasi pemain yang relatif terbuka—di mana di antara mereka tampil juga pemain teater dan penyanyi profesional—para aktor dan aktris terpilih dari proses audisi ini akan terus mengalami pembelajaran. Membayangkan proses yang cukup kompleks dari pertunjukan ini, saya membayangkan akan lebih mengasyikkan jika format yang dipilih sejak awal adalah pertunjukan yang minim kata, namun kaya akan gerak dan lagu.
Setelah pertunjukan usai, pihak penyelenggara menyediakan lembar-lembar kertas warna-warni yang diberikan kepada penonton anak-anak untuk dituliskan mimpi-mimpi mereka, lalu kertas-kertas tersebut digantungkan di “pohon mimpi”. Kedua anak saya dengan sigap menuliskan mimpi mereka. Baiklah, putera sulung saya menuliskan mimpinya berdasar imajinasi dan kesukaannya kepada action-figure tertentu. Puteri bungsu saya yang kebetulan belum bisa menulis, meminta saya untuk menuliskan mimpinya:
“Tidak ada perang
Semoga negara yang kehabisan air bisa dapat air juga.”
Ketika menuju pintu keluar, senyum puteri saya tambah berkembang lebar saat sejumlah panitia mempersilakan dia mengadopsi aneka pilihan tanaman kaktus dalam pot-pot kecil dengan menukarkan tiket pertunjukan.
Apabila penonton dengan jiwa-jiwa bersih kanak-kanak bisa menikmati dan mencerna pesannya, maka pertunjukan ini mendekati sempurna!