Masyarakat Arab Menjadikan Hewan Langka ini sebagai Barang Mewah

By , Rabu, 5 Oktober 2016 | 08:00 WIB

Kaum borjuis di Arab memamerkan hewan peliharaan eksotis mereka di sosial media, namun Negara-negara Teluk sudah diberitahu untuk melacak keberadan hewan-hewan peliharaan eksotis ini.

Para pengguna Instagram yang kaya raya di Arab, seringkali memamerkan peliharaan seekor kucing besar mereka yang eksotis, cheetah. Para pemilik sering memamerkan foto cheetah mereka di dalam rumah, mobil-mobil mewah mereka bahkan di atas perahu.

Hasrat dari keinginan untuk memelihara hewan tercepat di darat ini datang dari biaya yang ditawarkan. Hampir dari semua cheetah yang dibeli adalah ilegal, ketika masih bayi, cheetah ini dijual dengan harga mencapai $10,000.

Bukti yang memperkirakan penjualan dari bayi cheetah liar ini terjadi dalam jumlah yang besar, National Geographic melaporkan pada tahun 2012 lalu, jumlah mereka di alam liar saat ini diperkirakan kurang dari 7.000, sekitar 93 persen dari populasi menghilang sejak tahun 1900.

Sehingga, tahun lalu International Union for Conservation of Nature menjadikan status cheetah ini menjadi terancam punah, dengan perdagangan ilegal merupakan salah satu ancaman yang dihadapinya.

Ditekan oleh beberapa negara Afrika untuk mengatasi masalah ini, dua tahun lalu kelompok CITES mengeluarkan sebuah laporan untuk memanggil negara-negara teluk untuk mengatasi perdagangan tersebut. Laporan tersebut juga melaporkan sebuah kasus yang terjadi pada bulan November 2015 lalu di Kuwait dengan menemukan 13 negara yang memiliki cheetah hidup dan dijadikan sebagai hewan peliharaan di rumah mereka.

Rencana terbaru dari CITES merupakan sebuah usulan untuk memperkuat dan menegakkan undang-undang satwa liar yang ada di antara semua pihak agar meningkatkan kesadaran tentang perdagangan ilegal cheetah dan risiko tuntutan bagi mereka yang terlibat ke dalamanya, terutama penduduk di negara-negara teluk.

"Ini mengkhawatirkan," Patricia Tricorache, yang sudah menyelidiki perdagangan ilegal untuk Cheetah Conservation Fund yang berbasis di Namibia. Cheetah-cheetah ini berakhir di daerah Uni Emirate Arab, Qatar, Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, dan Oman yang diperdagangkan melalui perang dan kemiskinan Yaman dan tidak stabilnya Somaliland, jelas Tricorache kepada National Geographic.

"Angka-angka ini, menakjubkan," katanya, Ia juga menambahkan  telah mendokumentasikan setidaknya 250 kasus yang melibatkan 1.000 cheetah diperdagangkan secara ilegal sejak 2005. "Saya beritahu, bahwa dalam dua minggu terakhir ada dua set dari 30 ekor bayi cheetah di Yaman dan siap untuk dikirim ke negara-negara Teluk."

Menyadari bahwa peran situs media sosial seperti di Instagram dapat membantu mendorong perdaangan, pada 2014 CITES juga menyerukan untuk melibatkan "platform yang relevan terhadap media soisial, mesin pencari dan platform e- commerce untuk mengatasi perdagangan cheetah internasional secara ilegal dan meningkatkan kesadaran terhadap konservasi cheetah," lanjutnya.

Susan Lieberman, wakil presiden kebijakan internasional untuk Wildlife Conservation Society berbasis di New York, mengatakan perdagangan cheetah menonjol karena itu tidak didorong oleh permintaan di Tiongkok terhadap gading, tanduk badak, dan beberapa bagian dari harimau. Namun hal ini karena hewan-hewan ini merupakan hewan peliharaan mewah di negara ini, ada, singa, harimau, babun, dan binatang eksotis lainnya dipandang sebagai simbol status sosial.

Menurut Tricorache dari Cheetah Conservation Fund, negara-negara teluk masih enggan mengakui kesalahan mereka dan masih banyak yang saling menunjuk siapa yang harus disalahkan. Ia senang karene cheetah akhirnya mendapatkan perhatian dari CITES tapi khawatir dengan tindakan yang mungkin datang terlambat.