”Haaah!!!”
Saat iringan musik ketuk tilu dari pengeras suara berkekuatan 3.000 watt itu usai dibunyikan, Rawing (63), warga Cicadas, Kabupaten Subang, Jawa Barat, setengah berteriak melepas penat. Dengan cepat, dia mengambil segelas air kemasan. Segel plastik dirobeknya.
Namun, dia tidak meminum airnya. Rawing memilih mengguyur wajah ketimbang membasahi tenggorokannya. Bersama suhu udara hingga 31 derajat celcius, matahari di atas langit Subang galak menyengat wajahnya.
Siang itu, Rawing kembali tampil bersama kelompoknya, Tresna Wangi, dalam Festival Sisingaan dan Banjidoran di Desa Sukamelang, Kecamatan Subang, Kabupaten Subang, yang digelar Kementerian Pariwisata, 29 November lalu.
Sebelum acara dimulai, sebanyak 10 kelompok peserta festival harus melakukan helaran (arak-arakan). Helaran menjadi semacam undangan bagi masyarakat untuk menyaksikan sisingaan.
Sisingaan adalah salah satu seni pertunjukan rakyat Jawa Barat menggotong tandu berbentuk badan singa. Saat ini ada sekitar 200 kelompok sisingaan di Subang dan sekitarnya. Satu kelompok diperkuat 40 personel.
Setelah sejam berkeliling kampung, Rawing tak punya waktu banyak saat tiba di arena utama Lapangan Bola Sukamelang. Perut yang keroncongan minta diisi tak dihiraukan. Akan tetapi, kekuatan tangan Rawing dan tiga rekannya tak kehilangan tenaga saat melempar patung singa dinaiki anak kecil berbobot total 25 kilogram ke udara. Otot kakinya masih kuat menahan beban, membuat boneka singa tetap berwibawa.
”Rasanya seperti menarik becak, tapi lebih menyenangkan,” kata Rawing.
Rawing tidak sedang bergurau. Menjadi seniman sisingaan sejak 20 tahun lalu, dia juga penarik becak. Setiap kayuhan pedal becak jadi tumpuan hidup keluarganya saat tak ada pertunjukan sisingaan. Hanya mendapatkan kurang dari Rp 1 juta setiap bulan dari sisingaan jelas jauh dari cukup.
”Mayoritas penari sisingaan hidupnya seperti saya. Kalau bukan tukang becak, biasanya buruh tani atau tukang ojek,” ucapnya.
Seniman tari dari Institut Seni Budaya Indonesia, Mas Nanu Munajar, mengatakan, hanya cinta yang membuat mereka terus berkarya. Ungkapan gagah di panggung tapi kesulitan di kehidupan nyata masih membelit mereka. Padahal, banyak di antara mereka adalah generasi terakhir penjaga warisan tradisi di dunia ini.
”Lihat peniup trompet bercelana merah itu. Dia dan anaknya adalah generasi muda terakhir peniup trompet sisingaan dengan laras salendro,” katanya.
!break!Penelitian