Untuk pertama kalinya, para ilmuwan telah melihat bidang besar air es di permukaan komet, berkat pesawat antariksa Rosetta milik Badan Antariksa Eropa (ESA).
Temuan yang dipublikasikan di jurnal Nature ini memecahkan misteri lama tentang air es di komet. Para ilmuwan sudah tahu bahwa koma—awan luas dari gas yang mengelilingi inti komet—didominasi oleh molekul air.
Mereka juga tahu bahwa air beku merupakan salah satu komponen utama dari inti komet. Namun hingga kini, jejak air beku di permukaan komet amat sulit untuk dideteksi.
“Penemuan ini menarik, karena kita bisa mulai memahami lapisan dinamis di permukaan komet dan bagaimana mereka berevolusi,” ujar Murthy Gudipati, salah satu penulis studi yang juga seorang ilmuwan planet di Jet Propulsion Laboratory (JPL) di La Canada Flintridge, California.
Permukaan komet 67P, seperti kebanyakan komet lain, ditutupi oleh bahan organik gelap yang membuat penampilannya hampir hitam. Itu karena ketika komet terbang rendah ke arah matahari, mereka terkena suhu hangat yang menyebabkan volatil seperti air es di permukan mereka menyublim.
Apa yang tersisa dikerak komet dikenal sebagai bahan tahan api. Ini termasuk silikat mirip batu, pasir dan kotoran di Bumi dan bahan karbon. “Karena material ini tidak menyublim, permukan komet menjadi semakin organik dan kaya silikat dari waktu ke waktu,” jelas Michael Combi, peneliti yang mempelajari komet di Universitas Michigan sekaligus penulis kedua penelitian ini.
Air es di permukaan komet 67P Churyumov-Gerasimenko ditemukan di dua tempat, beberapa puluh meter di dalam wilayah yang dikenal sebagai Imhotep, pada bagian bawah lobus utama komet.
Bidang air es tersebut ditemukan menggunakan alat inframerah VIRTIS, yang memindai area untuk mencari sinyal spektrum air beku, tak lama setelah Rosetta berhasil mencapai komet 67P di tahun 2014.
Dalam dua kasus, es muncul di dinding tebing dan reruntuhan, dan tampak sebagai bercak terang dalam cahaya tampak. “Tampak seperti ada kerusakan, atau sesuatu yang jatuh pada permukaan komet. Area baru dan besar yang memiliki air es itu terungkap,” jata Gudipati.
“Meskipun kami telah mengetahui bahwa air es semestinya ada di dalam inti, ini adalah deteksi langsung pertama kali dari es di bagian dalam,” tambahnya.
Analisis lebih lanjut dari data VIRTIS mengungkapkan bahwa butiran air beku dari area yang baru memiliki dua ukuran yang berbeda. Butir kecil yang berada dalam kisaran mikrometer kemungkinan terkait dengan laposan tipis es yang terbentuk akibat rotasi komet. Ketika daerah komet ini berpaling dari matahari, air es mengembun dari koma menuju inti, tulis para peneliti. Ketika kembali disinari matahari, air kembali ke koma.
Butiran es yang lebih besar, berukuran beberapa millimeter, mungkin memiliki asal-usul yang lebih kompleks. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa air es di bawah permukaan dangkal komet mungkin menguap ketika komet terbang lebih dekat ke matahari, dan kemudian bergerak ke permukaan yang dingin dimana mereka mengembun lagi di dalam rongga.
“Perlu diingat bahwa komet sangat berpori, seperti permen kapas,” kata Gudipati. “Hampir 70 persen dari komet adalah rongga, dan karena itulah, panas matahari tak bisa mencapai hingga ke bagian dalam.”
Perlu dicatat bahwa air es terdiri hanya sebagian kecil dari bahan yang dipindai oleh VIRTIS, menunjukkan bahwa itu bercampur dengan bahan tahan api di lapisan atas komet.
Tim peneliti, yang dipimpin oleh Gianrico Filacchione dari Institut Astrofisika Luar Angkasa dan Planetologi di Roma, saat ini menganalisis data yang ditangkap dari peralatan yang sama di misi berikutnya. Misi ini bertujuan untuk melihat bagaimana sejumlah es di permukaan bisa berubah ketika komet mendekat ke matahari.