Mengintip ke Dalam Desa di Himalaya yang Menggantungkan Hidupnya dengan Ganja

By , Kamis, 4 Februari 2016 | 20:00 WIB

Di Himalaya India, desa-desa kecil berkembang dengan menanam ganja.Sebuah desa, betengger di gunung dengan ketinggian 9.000 kaki (2.700 meter) yang hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki. Dengan pendakian yang memakan waktu selama tiga jam, ditumbuhi secara liar oleh Ganja di pegunungan Himalaya India, dan hampir tidak mungkin untuk dapat mengekang budidaya ilegal yang sudah menjadi tradisi.

Setelah memanen Cannabis Indica, para petani menghabiskan beberapa jam dengan menggosokkan getah dari bunga tanaman ini untuk membuat charas, sebuah jenis ganja yang dianggap sebagai jenis yang terbaik di dunia . Ganja jenis ini dapat dihargai hingga 20 dollar per gram di negara barat. Ganja merupakan produk ilegal di India, namun banyak masyarakat desa yang sudah berpaling ke industri ganja karena kebutuhan finansial mereka.

Harga Charas setiap tahun semakin meningkat namun, para petani ini tetap hidup dengan kesederhanaan. Sebagian besar lahannya tidak berukuran besar, dan dari 50 tunas ganja hanya dapat memproduksi 10 gram charas.

baca juga : Apakah Mariyuana Dapat Menjadi Obat Migrain?

Sadhus-Hindu, orang suci yang pergi ke Himalaya untuk melakukan meditasi merupakan orang pertama yang membuat Charas. Ketika para kaum Hippies mulai mengikuti Sadhus menyusuri pegunungan di tahun 1970, para penduduk lokal, yang sudah merokok dengan campuran kasar dari getah ini dan beberapa bagian dari tanaman ini juga mulai mencoba untuk membuat charas juga. Hari ini mereka masih menggunakan teknik yang sama dalam memproduksi charas selama bertahun-tahun. Tidak ada keterangan resmi dalam jumlah produksi charas atau ganja budidaya di India. Karena hal ini merupakan perbuatan ilegal, pemerintah India tidak pernah melakukan survei skala besar dalam menilai produksi ganja ini.

Selain karena ganja merupakan tanaman asli, hal ini menyulitkan polisi untuk melacak produsen dari tanaman ini. Para petani terus bergerak ke daerah yang lebih tinggi untuk melarikan diri dari penggerebekan. Ribuan keluarga di wilayah ini bertahan hidup dengan memproduksi charas. Para petani menjual getah untuk orang asing dan juga untuk orang India yang berada di kota-kota besar. Permintaan meningkat, guesthouse yang baru dan tempat untuk merokok charas semakin bertambah setiap musimnya.

Sejarah ganja di India sudah ditanggalkan sejak ribuan tahun, hal ini juga disebutkan dalam tulisan-tulisan di kitab Werda yang suci. Di dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Dewa Siwa sedang duduk bermeditasi di puncak bersalju Himalaya dengan memakan bunga ganja. Namun, saat ini, cerita tersebut menjadi bagian dari bisnis, dengan penduduk desa menjual Charas untuk bertahan hidup.

Masyarakat Himalaya sangat bangga dan menjaga benar-benar rahasianya. Mereka merupakan kelompok pekerja keras, hidup dalam kondisi ekstrim dan sering sekali tidak memiliki pilihan karir alternatif. Banyak petani yang tidak melibatkan hukum ke dalam kehidupan mereka. Budidaya, produksi, penggunaan dan seluruh konteksnya mereka jiwai dengan spritualitas dan agama.

Baca juga : Sejarah dan Perjalanan Penyebaran Ganja

Bersama dengan banyak negara, India bergabung dalam perlawanan global melawan narkoba pada tahun 1961 dengan menandatangani pernjanjian UN Single Convention on Narcotic Drugs. Namun, tidak semua orang siap meninggalkan ganja yang sudah sejak lama menjadi bagian dari ritual keagama dan perayaan. Butuh 24 tahun bagi India untuk menerjemahkan komitmen menjadi undang-undang. Negara ini akhirnya melarang ganja pada tahun 1985.

"Hampir 400 dari 640 kabupaten di India memiliki budidaya ganja," kata Romesh Bhattacharji, mantan komisaris narkotika di India."Sudah saatnya bagi pemerintahan India untuk berhenti menjadi budak dari kebijakan yang didukung PBB sejak 1985, namun penggunaan dan budidaya ganja tetap berkembang biak. Larangan tersebut gagal."

"Pelarangan untuk mengurangi ganja di negara dengan kebiasaan penggunaan tradisional merupakan contoh yang jelas dari latar belakang kolonial konvensi (PBB)," kata Tom Blickman, dari Belanda Think-tank Transnational Institute. "Sepertinya tidak akan berhasil."