Ketika Nurani Tak Lagi Terusik

By , Kamis, 11 Februari 2016 | 20:00 WIB

Sungguhkah dunia dan mereka yang bertikai tergerak saat tubuh Aylan Kurdi (3) hanyut dalam alunan ombak dan terdampar di pantai? Peristiwa lima bulan lalu itu memang sempat membuat dunia terenyak. Dari berbagai penjuru dunia terdengar seruan untuk membantu pengungsi dan dengan desakan untuk segera mengakhiri konflik Suriah.

Namun, setelah lima bulan berlalu, di tengah-tengah kelelahan para pengungsi yang sedang mencari harapan hidup baru, seruan itu perlahan tak lagi terdengar.

Faktanya, dalam situs resmi Organisasi Internasional untuk Pengungsi (IOM) disebutkan, sepanjang Januari 2016, sebanyak 368 orang dari 67.193 pengungsi yang berupaya mencapai pesisir Yunani dan Italia tewas di laut. Jika dibandingkan dengan Januari 2015, jumlahnya jauh meningkat. Saat itu, dari 5.000 pengungsi yang berupaya mencapai Yunani dan Italia, sebanyak 82 orang tewas di laut.

Menurut IOM, pekan terakhir bulan Januari 2016 lalu merupakan pekan paling mematikan ketika lebih dari 100 pengungsi yang terdiri dari perempuan, anak-anak dan sejumlah pria tewas di perairan Yunani, Turki dan Italia. Dalam situsnya, lembaga itu menyebutkan, selama lima bulan terakhir, sebanyak 330 pengungsi anak-anak tenggelam di wilayah perairan itu.

IOM mengatakan, di tengah dinginnya bulan Desember, sebanyak 82 anak-anak, sebagian bayi dan anak balita, tewas saat berupaya melewati ganasnya Laut Tengah.

Namun, hingga saat ini tak satu pun suara berseru menyuarakan derita mereka. Bahkan, sejumlah negara Eropa tengah berupaya keras memperketat pintu perbatasan mereka. Serangan di jantung kota Paris, November, dan peristiwa Koeln Desember tahun lalu, membangun ketakutan pada sosok pengungsi, megganti semangat penuh empati dengan sikap antipati.

Juru bicara Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Melissa Fleming, mengatakan, masyarakat tampaknya mulai kebal. Sebagian masyarakat Eropa menyalahkan semua serangan itu apda migran, dan sayap kanan Eropa memanfaatkannya untuk menggalang penolakan terhadap kehadiran mereka. Bahkan Jumat lalu, di Stockholm, sejumlah pria bertopeng, diduga merupakan bagian dari geng neo-Nazi, berkumpul membagikan selebaran yang berisi seruan untuk menyerang para migrant muda.

Namun, tidak semua Eropa menyetujui sikap itu. Di Hongaria, negara yang menerapkan kebijakan keras dengan membangun pagar kawat di sepanjang perbatasan mereka untuk menghalau pengungsi, sebuah tabloid nasional Blikk justru memuat lagi foto Aylan Kurdi. Mereka memberi judul pada halaman muka tabloid itu, “Tidak ada yang belajar dari tragedi Aylan kecil”.

Memang sempat muncul polemik tentang etiskah menampilkan lagi foto itu. Namun, Fleming berpendapat bahwa dalam kasus Aylan itu, hal terbaik untuk menghormati kematiannya adalah mencurahkan perhatian pada pengungsi dan menuntut pemerintah setiap negara untuk berbuat lebih banyak.

Seharusnya jika semua pihak sungguh peduli pada kematian Aylan serta bayi-bayi lain, dan memperhatikan pernyataan Fleming, saat inilah momentumnya. Di Geneva, saat ini, sejumlah perwakilan Pemerintah Surian membahas solusi untuk mengakhiri krisis.

Di pundak merekalah harapan berakhirnya perang di Suriah diletakkan, karena merekalah yang sesungguhnya menjadi aktor pada panggung kematian Aylan Kurdi dan bayi-bayi lain. Namun, sikap keras kedua pihak agaknya menghalangi harapan itu segera terwujud.

Oleh karena itu, layak untuk menanyakan, apakah kematian Aylan Kurdi benar-benar telah menyentuh jantung dan hati mereka yang di tangannya semua kekuatan dari sebuah kekuasaan diamanatkan?