Jin De Yuan, Klenteng Multikultural

By , Sabtu, 6 Februari 2016 | 14:00 WIB

Warna emas dan merah mendominasi bangunan itu. Pilar gerbang tinggi dan besar dengan warna menyala terang. Tampak lampion-lampion bergelantungan di depan teras depan. Tampak pula relief ukiran naga di depan pintu utama. Kelenteng itu bernama Jin De Yuan, belokasi di Petak Sembilan, Jakarta Barat.

Kelenteng itu dikenal sebagai kelenteng tertua di wilayah Jakarta. Kelenteng didirikan tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen, awalnya diberi nama Koan-Im Teng.

Pengurus Kelenteng Jin De Yuan, Yu Ie (35), mengatakan, tidak seperti kelenteng lain, kelenteng ini merupakan kelenteng umum, artinya tidak secara khusus memuja salah satu agama atau aliran. Masyarakat luas mengenal kelenteng ini sebagai kelenteng multikultur. Aliran atau agama seperti Tao, Buddha, dan Konghuchu, dapat sembahyang di kelenteng ini.

"Umat yang datang ke sini bukan hanya yang aliran tertentu. Aliran Tao, Buddha, dan Konghuchu bisa sembahyang di kelenteng ini. Bahkan dulu Akbar Tandjung dan istri Sutiyoso pernah juga berdoa di sini," kata Yu Ie.

Papan pujian (tahun 1757) yang tergantung di ruang utama dengan jelas menyatakan bahwa di kelenteng ini terdapat berbagai aliran. Di bagian kiri dan kanan pintu dalam kelenteng dipasang syair yang memiliki arti "Pedupaan mas mengepulkan kebahagiaan, semua tempat terbuka, demikian pula dengan alam Dharma. Gerbang kebajikan menampakkan atmosfer kejayaan yang menyebar luas di alam manusia."

Pada masa rezim Orde Baru, upaya pengaturan Tri Dharma sebagai agama juga merupakan hal yang memberatkan etnis Tionghoa.

"Waktu itu agama Buddha melebur dan menyebut tempat ibadahnya menjadi vihara. Hal itu juga memengaruhi bentuk kepercayaan Tri Dharma yang terdiri dari Taoisme, Konghuchu, dan Buddha. Baru saat Gus Dur menjadi presiden, masyarakat Tionghoa berlega hati. Sebab, Gus Dur mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang berisi larangan keras bagi kegiatan kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia. Masyarakat Tionghoa menjadi lebih terbuka dalam mengadakan perayaan, termasuk Tahun Baru Imlek setiap tahun.

"Hal ini berbeda jauh ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada masa itu penggunaan kata kelenteng tidak diperbolehkan. Kebudayaan China, seperti bahasa Mandarin dan barongsai, dilarang keras," kata Yu Ie.