Festival Imlek <i>ala</i> Semarang, dari PIS ke-13 Hingga <i>Pork Festival </i>

By , Minggu, 7 Februari 2016 | 19:00 WIB

Berbagai perayaan dan festival dilakukan dalam menyambut tahun baru Imlek 2567 pada 8 Februari 2016. Tak terkecuali Semarang, kota yang kental dengan berbagai budaya negara lain termasuk salah satunya, Cina selain Eropa dan Arab.

Pasar Imlek Semawis (PIS) kembali diselenggarakan menyambut Imlek tahun ini. PIS merupakan gelaran rutin yang diselenggarakan oleh Komunitas Pecinan Semarang Untuk Wisata (KOPI SEMAWIS). Tahun 2016 ini PIS ke-13 digelar pada 5-7 Februari mengusung tema Gelar Tuk Panjang, Sedepa Jadi Sehasta , yang maknanya yang jauh didekatkan.

Pada pembukaan PIS, undangan yang hadir akan duduk berhadap-hadapan di meja panjang di sepanjang Jl. Wotgandul Timur dengan hidangan makanan khas dari pecinan.

Pork Festival Undang Perhatian Publik

Selain PIS, Komunitas Kuliner Semarang mengadakan Festival Kuliner Daging Babi Olahan di Mall Sri Ratu pada 4 – 8 Februari 2016. Festival ini sempat mengundang perhatian publik di Semarang, namun pihak penyelenggara tidak khawatir jika ada pihak yang mempersoalkan landasan kegiatan ini. 

Firdaus Adinegoro ketua penyelenggara festival mengatakan bahwa penyelenggaraan pork festival sengaja dipersiapkan untuk menyambut hari raya Imlek. “Kami menghormati umat Muslim, makanya kami memilih nama yang jelas. Kami tidak ingin mendengar cerita makanan mengandung babi atau apa, ini biar jelas, segmentasi pasar juga jelas intern,” ungkap Firdaus.

Budayawan Kota Semarang, Tubagus P. Svarajati memaparkan mengapa festival ini diperdebatkan,”Jadi, polemik saat ini karena ada ketidakpahaman atau kesengajaan kelompok masyarakat yang tidak mengonsumsi daging babi,” kata Tubagus.

Menurut Tubagus, makanan babi telah ada sejak sejak lama. Masyarakat di Indonesia  juga telah lama melakukan budidaya konsumsi daging babi, seperti pada masyarakat Bali, Batak, Nusa Tenggara Timur, Papua, hingga Manado. Ia berharap masyarakat dapat lebih dewasa untuk menghindari sikap intoleransi.

“Yang diperlukan ialah sikap bertenggang rasa dari masyarakat mayoritas terhadap kultur masyarakat minoritas, itu jika kita ingin menegakkan NKRI yang berbineka itu,” tutup Tubagus.