Budaya Tionghoa, Budaya yang Sarat akan Makna

By , Senin, 8 Februari 2016 | 17:00 WIB

Jelang akhir kalender Imlek, warga Tionghoa di penjuru pecinan Nusantara mempunyai tradisi untuk membersihkan rumah. Setelah itu seluruh anggota keluarga bahu-membahu menghias rumah dengan pernak-pernik Imlek. Harapannya, tercipta semarak suasana riang gembira.

Hari itu dirayakan sebagai malam tahun baru, yang dalam bahasa Mandarin berarti menghapus yang lama dan jahat,  juga berdoa untuk menyonsong kedatangan kebaikan tahun yang baru.

Ketika malam, warga Tionghoa menggelar sebuah upacara sembahyang yang dikenal sebagai upacara Sembahyang Tutup Tahun (tanggal 30 bulan 12 dalam kalender Imlek). Sembahyang ini dilakukan khusus untuk menghormati dan memuliakan leluhur atau sebagai ungkapan tanda bakti dari anak untuk kedua orang tua.

Upacara ini merupakan wujud dari sebuah pelaksanaan moral Konfusianis yang memiliki sifat humanis, religius dan berakar kuat pada penekanan konsep bakti.

Saya menjumpai Erna, seorang Tionghoa yang tinggal tak jauh dari Klenteng Boen Tek Bio, Tangerang. Dia mempersilahkan saya untuk menyaksikan altar yang sudah dipenuhi beragam makanan yang sudah tertata rapi, berikut kedua foto almarhum ayah dan ibu mertuanya. Di atas altar keluarga itu terlihat sebanyak 12 jenis makanan dan 12 gelas teh manis dan beberapa jenis kue dan buah. Beberapa hio hampir terbakar habis.

"Ada pindang bandeng, ayam kloak dan goreng, udang goreng, baso luhoa, mi goreng, babi cin, sambal godok, Cah buncis, tahu, kentang dan pete, ada juga samseng. Samseng ini biasanya dari babi, bandeng  atau ayam. Terus ada juga kue pisang, bika ambon, kue mangkok." papar Erna.

Dalam penyajiannya tidak ada keharusan, demikian sambung Erna, yang penting sesuai dengan keadaan keluarga. Kalau keluarga mempunyai rezeki lebih, biasanya mereka juga menyediakan ayam satu ekor. "Saya mengikuti tradisi suami saja, saya dan keluarga saya sudah vegetarian, jadi sudah tidak menggunakan daging lagi," tambahnya.

Dua belas jenis makanan yang harus disediakan ternyata merupakan perwakilan dari shio. Selain perwakilan banyaknya jumlah shio, setiap makanan juga memiliki makna tersendiri. Misalnya, mie merupakan lambang dari panjang umur dan kemakuran. Kemudian kue keranjang dan kue mangkok yang disusun ke atas memiliki harapan bahwa akan adanya kehidupan yang manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok. Sedangkan untuk ayam dan ikan dilambangkan sebagai harapan kehidupan yang bahagia dan penuh keberuntungan. Jeruk Mandarin, jeruk mandarin merupakan salah satu buah yang wajib ada di atas altar. Jeruk merupakan perwakilan dari doa untuk mendapatkan kekayaan, keberuntungan dan keutuhan dalam keluarga.

Ketika semua hidangan untuk persembahan diatur di atas meja sembahyang, para anggota keluarga bersiap untuk berkumpul dan berdoa memanggil arwah leluhurnya untuk menyantap sajian yang disuguhkan. Ada hal yang menarik saat tradisi pemanggilan arwah leluhur, yakni cara mereka berkomunikasi. Komunikasi ini dilakukan dengan menggunakan dua keping kayu yang berbentuk seperti bulan sabit yang akan dilempar ke atas dan dilihat apakah kedua keping tersebut terbuka, atau tertutup atau ada salah satu sisi yang terbuka dan tertutup.

Apabila kedua kepingan yang jatuh menghasilkan posisi yang tertutup, artinya sang arwah marah, dan belum menyelesaikan menyantap makanannya. Begitu juga apabila kedua keping tersebut terbuka, artinya arwah tertawa karena menikmati santapan sehingga seluruh sajian dibiarkan tetap berada di altar. Apabila keping tersebut menjatuhkan sisi terbuka dan tertutup, berarti arwah leluhur sudah selesai menikmati hidangan yang disediakan.

Ketika upacara selesai, makanan yang tersaji di meja dibagikan kepada kerabat. Semua sesaji disesuaikan dengan selera keluarga sehingga tidak terbuang percuma.