Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berambisi membangun tanggul laut raksasa untuk melindungi wilayah utara dari abrasi dari banjir air laut yang melanda secara rutin.
Digagas pada pemerintahan bekas Gubernur DKI, Fauzi Bowo, proyek tanggul raksasa di pantai Jakarta ini akan membentang sepanjang 32 kilometer.
Tembok beton itu terdiri atas 17 pulau buatan yang membentuk lambang negara, Garuda. Giant Sea Wall Jakarta menelan biaya sekitar 600 Trilyun Rupiah dan akan rampung tahun 2030 mendatang.
Suryono Herlambang, seorang pengajar bidang Perencanaan Kota di Universitas Tarumanagara, Jakarta menuangkan opininya tentang proyek tanggul laut raksasa di situs www.utarakanjakarta.com.
“Kalau ditanya soal proyek Tanggul Raksasa, yang kadang disebut ‘Garuda Raksasa’ karena bentuknya yang serupa burung Garuda, saya akan bilang saya tidak setuju,” tulis Suryono.
Suryono menjelaskan, daripada menangani masalah Jakarta melalui proyek mahal dan simbolik semacam itu di laut, lebih baik penanganan dilakukan di tengah Jakarta sendiri. Sebab, penurunan permukaan lahan Jakarta diakibatkan salah satunya olehpemakaian air tanah secara berlebihan.
(Baca opini lain tentang reklamasi: Sawarendro: Reklamasi adalah Misi)
“Nah, daripada membangun tanggul raksasa, kenapa tidak mengurangi proyek pembangunan besar-besaran di Jakarta saja?” tanyanya.
Membangun tanggul akan menjadi hal yang sia-sia jika penggunaan air tanah masih masif dan rencana detail tata ruang terakhir untuk Jakarta justru menunjukkan peningkatan intensitas pembangunan.
Ia mempertanyakan, jika tanggul raksasa tersebut dimaksudkan sebagai proyek penanggulangan bencana, pantaskah bila dijadikan sesuatu yang komersil?
“Saya ragu proyek ini bisa menghasilkan perumahan terjangkau, yang katanya dibutuhkan Jakarta,” ungkap Suryono.
Menurutnya, lebih baik membangun perumahan terjangkau di dekat titik-titik transit milik fasilitas transportasi massa yang sedang dibangun, seperti MRT.
“Saya rasa lebih masuk akal membangun apartemen terjangkau dekat tiap stasiun MRT, dengan memakai metode yang menguntungkan pemilik tanah, seperti metode land readjustment, yang banyak digunakan di negara-negara Asia Timur,” pungkasnya.
Opini ini bagian dari Proyek Utarakan Jakarta – Speak up (North) Jakarta lewat laman www.utarakanjakarta.com. Proyek ini bertujuan untuk mengabarkan dan meningkatkan kesadaran tentang banjir di Jakarta, sekaligus menunjukkan urgensi untuk melindungi Jakarta dari banjir.
"Utarakan Jakarta" juga menggambarkan kehidupan empat warga yang hidup di balik tembok laut di Jakarta Utara. Gambaran tersebut menangkap soal perjuangan mereka melawan banjir, rumah yang terendam dan harga air minum di sebuah kota yang di ambang tenggelam. Kampanye memperlihatkan kekhawatiran, mimpi dan harapan mereka akan masa depan yang lebih baik. Simak juga kisah keempat warga tadi dalam "Di Balik Benteng Laut" yang terbit di Edisi Spesial National Geographic Indonesia edisi November 2015.