Mobilitas Sebagai Salah Satu Bentuk Hak Hidup

By , Selasa, 16 Februari 2016 | 19:00 WIB

“Mobilitas adalah salah satu bentuk hak hidup. Maka, sistem administrasi penduduk pun perlu dibangun atas dasar pemikiran ini, bahwa penduduk itu dinamis, bergerak, memiliki mobilitas, tidak stagnan tinggal di satu tempat.”

Hal tersebut diungkapkan oleh Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada Muhadjir dalam siaran pers PSKK UGM 2 Februari 2016. 

Menurut Muhadjirin, selama ini sistem Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Indonesia dibangun berdasarkan asumsi bahwa penduduk itu statis. “Padahal, masyarakat kita semakin lama mobilitasnya semakin tinggi.”

Muhadjir mencontohkan sistem pencatatan identitas penduduk di Amerika Serikat yang menurutnya efektif, efisien, serta mampu mengakomodasi mobilitas penduduknya.

Selama tinggal di Amerika Serikat, identitas seorang warga adalah social security number (SSN) sementara jika dia berpergian ke luar negeri, identitasnya adalah dokumen passport. Tak hanya identitas, SSN juga merupakan bentuk keamanan warga negara secara sosial.

Perlakuan yang sama diberikan kepada para migran. Meski tidak tercatat sebagai warga negara dan hanya menetap atau tinggal sementara waktu (temporary residents) baik karena urusan pekerjaan dan bisnis, tugas belajar, dan lain-lain, mereka diharuskan pula untuk memiliki SSN. Data kependudukan terekam secara nasional dan terpadu sehingga sistem mampu mendeteksi siapa saja yang tinggal di negara tersebut, bahkan memantau mobilitasnya. SSN bisa digunakan untuk semua urusan administratif, seperti di bank, kantor, pemerintahan, sekolah, bahkan untuk urusan pemilihan umum, cukup dengan menunjukkan SSN.

SSN melekat pada negara, sehingga kemanapun warga berpergian, melintas batas negara bagian, dia akan tetap menggunakan nomor identitas yang sama. Berbeda dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Indonesia yang melekat pada keterangan tempat tinggal. Saat seseorang berpindah tempat, meski masih di kabupaten/kota yang sama, dia tetap harus mengurus KTP yang baru.

Sebagai contoh, orang-orang yang commute atau pulang pergi bekerja (nglaju). Sehari-hari mereka bekerja di Jakarta kemudian sebulan atau enam bulan sekali pulang ke daerah asalnya. Di Jakarta dia tetap dianggap penduduk ilegal karena tidak memiliki KTP Jakarta, mengapa? Karena KTP melekat pada tempat tinggal.