Konservasi Satwa Langka Terganjal Lemahnya Penegakan Hukum

By , Selasa, 16 Februari 2016 | 14:00 WIB

Kasus yang melibatkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menambah deretan panjang pelanggaran Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/90). Pasal 21 ayat (2) huruf b dalam UU tersebut dengan tegas melarang setiap orang memiliki dan/atau memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati.

“Sangat disayangkan karena justru pejabat negara yang melakukan. Kalau alasannya nggak ngerti hukum, kayaknya nggak mungkin deh, ya,” ujar Sunarto, Wildlife Specialist WWF-Indonesia saat dihubungi melalui telepon, Senin (15/2).

(Baca juga: Menteri Tjahjo Diminta Serahkan Koleksi Offset Satwa Langka Secara Terbuka)

Narto mengungkapkan peraturan perundang-undangan terkait konservasi dan penyelamatan satwa langka cenderung masih dianggap remeh oleh sebagian besar kalangan masyarakat. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggar peraturan perundang-undangan menjadi salah satu faktor penyebabnya.

Dalam UU 5 /90, dikatakan para pelaku hanya akan mendapatkan hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda 100 juta rupiah. Artinya, hukuman yang diterima bisa saja jauh di bawah itu.

“Pengadilan biasanya hanya menjatuhi hukuman penjara beberapa bulan saja,” ujar Direktur Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera-Yayasan Keanekaragaman Hayati, Samedi. Hal tersebut, menurutnya tak bisa memberikan efek jera kepada pelaku. Akibatnya, perburuan dan perdagangan satwa ilegal terus terjadi.

(Baca juga: Pentingnya Perbaikan UU Konservasi Bagi Satwa Langka)

Kejahatan terhadap satwa langka dan dilindungi yang merajalela mengakibatkan penurunan besar-besaran jumlah satwa langka dilindungi dari tahun ke tahun. 

Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, flora dan fauna langka dan dilindungi di Indonesia semakin kritis dan terancam.

“Untuk menyelamatkannya, diperlukan perubahan mentalitas melalui penegakan hukum dan menumbuhkan kesadaran di masyarakat melalui edukasi,” pungkas Narto.