Sesi berbagi bersama Kadir van Lohuizen: "The Necessity of In-Depth Photojournalism"

By , Selasa, 16 Februari 2016 | 18:49 WIB

Hal yang harus ditekankan kepada setiap fotografer adalah bersikaplah sejujur-jujurnya terhadap narasumber atau contact person. Setiap fotografer mesti menjelaskan maksudnya memotret, atau akan dimuat di mana. Jangan sekali-kali berbohong, karena itu akan membahayakan diri mereka sendiri.

Demikian penuturan Kadir van Lohuizen, fotografer asal Belanda yang juga merupakan salah satu pendiri agen foto dokumenter Noor Agency, dalam presentasi foto bertajuk “The Necessity of In-Depth Photojournalism” di Jakarta, Selasa (16/2). Dalam kesempatan itu, Kadir mempresentasikan beberapa proyek fotonya—semua merupakan karya jangka panjang—di hadapan audiens yang sebagian besar merupakan jurnalis foto dan editor dari berbagai media. Kadir juga berbagi mengenai industri media di era digital.

Kadir memulai sesi sharing-nya dengan proyek “Diamond Matters”, sebuah cerita foto yang dimulainya 10 tahun lalu, menelusuri rantai perdagangan berlian internasional; mulai dari proses penambangan di beberapa negara di Afrika, industri pemolesan di India, hingga para pedagang di belahan Barat. Lewat foto-fotonya ini, Kadir hendak mengatakan kepada dunia bahwa banyak konflik yang terjadi di negara-negara Afrika justru dipicu oleh kekayaan mineral mereka sendiri, yang, ironisnya, hasilnya dinikmati oleh masyarakat di belahan dunia yang lain.

“Orang-orang Angola dan Kongo yang menambang berlian itu tidak pernah tahu bagaimana dan untuk apa berlian itu digunakan,” ujar Kadir. Untuk menelisik lebih dalam tentang industri berlian, Kadir tidak hanya berhenti pada para pedagang ritel di Eropa, tetapi juga melihat kehidupan para konsumennya. “Saya harus mengikuti pesta paling besar yang melibatkan para konsumen berlian. Pada titik ini, akses memiliki peran penting,” pria jangkung dengan ciri khas rambut acak-acakan ini menjelaskan.

Kadir memberikan penekanan soal pentingnya akses dan menjalin network, baik dengan teman maupun “musuh”, dan menjaga kepercayaan mereka dengan berkata sejujur-jujurnya. “Jika Anda tidak mengatakan tujuan sebenarnya dari liputan Anda, di kemudian hari Anda bisa dituntut secara hukum.”

Cerita kedua yang disajikan Kadir adalah mengenai meningkatnya permukaan air laut akibat perubahan iklim. Kadir menampilkan foto Greenland yang tadinya putih (bersalju) kini benar-benar menjadi ‘green’ karena gletser sudah mencair. Dalam proyek ini, Kadir mencoba melaporkan dari berbagai belahan dunia untuk menunjukkan bahwa perubahan iklim telah berdampak pada tempat-tempat di mana manusia tinggal.

“Kiribati, sebuah negara pulau di Pasifik, mau tidak mau akan musnah. Jika sudah begitu, ke mana warganya mesti pindah? Masalah lokal pun akhirnya menjadi persoalan internasional,” katanya. Naiknya muka air laut pun bukan hanya masalah negara-negara kecil, melainkan juga negara besar seperti Amerika dan Eropa.

“Jangan dikira pemerintah di negara Amerika atau Eropa [di bagian yang terdampak] bakal memikirkan ke mana warga mereka hendak mengungsi jika tempat tinggal mereka tenggelam. Tidak ada kompensasi apa pun.”

Menurutnya, tema ini juga sangat potensial untuk digarap oleh para fotografer Indonesia, karena Jakarta, ibu kota negara, juga menjadi salah satu kota yang rawan tenggelam akibat kenaikan muka air laut.

Porsi foto cerita dan masa depan mediaDalam presentasi ini, Kadir juga mengulas tentang potensi pemuatan foto cerita di koran-koran harian. Sebagaimana diketahui, kebanyakan koran di Indonesia, bahkan di dunia, tidak memberikan ruang yang cukup bagi foto cerita (dibandingkan majalah).

Ruli Kesuma, editor foto TEMPO yang juga hadir dalam diskusi, mengatakan medianya melakukan pengurangan halaman, sehingga porsi foto mesti bersaing lebih ketat dengan teks. Hal senada disampaikan editor foto harian KOMPAS, Agus Susanto.

Menurut Kadir, ketika berbicara soal foto cerita, fotografer tidak perlu berpikir untuk dimuat dalam 26 halaman majalah National Geographic. Enam-delapan foto cukup, dengan sedikit teks. “Karya saya yang memenangkan World Press Photo hanya delapan foto,” katanya. Salah satu solusi lain, tambah Kadir, adalah membuat cerita berseri/bersambung sebagaimana yang dipraktikkan oleh sebuah koran Belanda atas karyanya. “Jadi, pasti akan selalu ada jalan kalau kita berusaha.”

Mengenai tren media digital, Kadir mengakui saat ini memang masa yang berat buat profesi fotografer. Karenanya, kini tidaklah cukup seorang fotografer hanya mengandalkan kemampuan memotret, melainkan harus menambahnya dengan kompetensi lain, misalnya kemampuan multimedia (video dan audio). “Dalam dua tahun ke depan, saya mungkin tidak lagi dikenal sebagai fotografer, karena saya juga membuat video dan audio.”

Pada akhirnya, kemampuan untuk beradaptasi dengan perkembangan tren dan teknologi menjadi faktor penting agar profesi fotografer tetap bisa sintas.