Menziarahi Hati di Tanah Terjanji

By , Rabu, 17 Februari 2016 | 17:30 WIB

"Di antara para peziarah, pedagang souvenir, dan warga yang berlalu-lalang, tampak puluhan polisi dan tentara Israel berjaga-jaga. Mereka mengenakan pakaian dinas berwarna gelap, memakai sepatu bot kulit, dan mengenggam senjata laras panjang. Meski terlihat santai, telunjuk mereka siaga pada picu senapan. Bola mata awas memperhatikan gerak-gerik setiap orang yang melintas."

Denty Piawai Nastitie, jurnalis dan fotografer muda di harian KOMPAS, bersama keluarganya menyusuri denyut Yerusalem di hamparan Tanah Terjanji pada Desember silam.

“Tiba-tiba, ketakutan menyergap,” tulis Denty. “Bagaimana kalau tiba-tiba terjadi perang? Bagaimana saya bisa menyelamatkan diri? Ke mana harus berlari menghindari tembakan peluru tentara?”

Yerusalem memiliki sejuta cerita tentang cita dan nestapa perjalanan peradaban manusia. Salah satunya, cerita sebuah jalan di tengah permukiman beragam agama, yang mengantarkan peziarah menuju Bukit Golgota.

Kota Yerusalem menjadi penting bagi tiga agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam. Selama ribuan tahun, kota itu sudah puluhan kali dihancurkan, dikepung, diserang, dan dikuasai ulang. Meski belum diakui dunia internasional, Yerusalem diklaim sebagai ibu kota Israel. Bagi orang Palestina, kota itu juga dianggap sebagai ibu kota negara.

Warga bersantai menghadap kota lama Yerusalem. Dari kejauhan terlihat Dome of The Rock, dalam bahasa Arab disebut Masjid Qubbat As-Sakhrah, atau Kipat Hassela dalam bahasa Ibrani. Dome of The Rock terletak bersebelahan dengan Masjid Al-Aqsa, masjid terpenting ketiga bagi umat Islam. (Denty Piawai Nastitie/National Geographic Traveler)

Sepanjang perjalanan menelusuri Via Dolorosa, Denty berjumpa dengan sejumlah perempuan Islam. Kehidupan sehari-hari kelompok Islam seolah tak terganggu dengan kegiatan rohani kelompok Kristen dan Yahudi. Umat Islam yang hidup di Yerusalem adalah orang Palestina yang sudah turun-temurun berdiam di sana. Dia juga bertemu sejumlah pria Yahudi. Mereka mengenakan busana tradisional berupa jubah dan celana panjang hitam, sepatu hitam, serta topi lebar berbulu.

Penjelajahan ke suatu daerah baru akan melatih kita untuk memahami dan menghormati kebiasaan warga setempat. Saat kembali pulang pun kita memiliki sepasang mata yang baru untuk menyaksikan keindahan semesta dengan cara pandang yang baru pula.

Bagian cerita yang membuat saya terharu adalah ketika Denty berbincang dengan Rauf, pengemudi bus asal Palestina. Rauf seorang Muslim sejati dan memiliki kedai makan yang terkenal di kalangan Yahudi. Rauf juga hafal lagu-lagu Kristen. Ketika Denty bertanya bagaimana lelaki itu bisa hidup dengan keragaman agama di sana, Rauf menjawab dengan tenang, “Saat berinteraksi dengan orang lain, saya tidak peduli agama kamu dan dari mana asal usulmu, yang penting adalah ‘kamu’. Manusia.”

National Geographic Traveler edisi Maret 2016, menampilkan kisah leluhur Lembata, ebeg Cilacap, Nusa Kambangan, lukisan Bandung, ziarah Yerusalem, dan melancongi Manila. (National Geographic Traveler)

Menyambut perayaan Paskah, simak kisah Denty Piawai Nastitie dalam  “Menziarahi Hati di Tanah Terjanji” di National Geographic Traveler Indonesia edisi Maret 2016. Denty menceritakan pengalamannya menyusuri Via Dolorosa, dan memotret suasana Tanah Terjanji. Inilah edisi bersejarah, untuk pertama kalinya sampul National Geographic Traveler  Indonesia menggunakan hasil foto gawai Apple iPhone 6!