Setiap tahun sekitar 1,3 miliar ton makanan—sekitar sepertiga dari seluruh produksi makanan dunia—tidak pernah dikonsumsi. Di sepanjang rantai suplai, buah-buahan dan sayur-sayuran lebih banyak hilang atau terbuang daripada jenis makanan lainnya. Mudah rusak dan rentan perubahan suhu di sepanjang perjalanan antara pertanian ke meja makan, buah-buahan dan sayur-sayuran juga biasanya paling dahulu dibuang di rumah.
Data dari FAO menunjukkan dalam rantai suplai buah dan sayuran dunia, porsi sebesar 53 persen hilang atau tersia-siakan. Hanya sebesar 47 persen yang benar-benar dikonsumsi.
Perincian buah dan sayuran yang hilang atau tersia-siakan tadi adalah sebesar 20 persen hilang dalam pemetikan dan pengepakan. Sebesar 3 persen hilang dalam penyimpanandan pengiriman. Sebesar 2 persen hilang saat dalam produksi, pengalengan, pembuatan jus, atau pemasakan. Sebesar 9 persen dibuang di tingkat grosir dan supermarket, dan 19 persen tidak termakan dan dibuang oleh rumah tangga.
Cerita ini bagian inisiatif Masa Depan pangan, proyek lima tahun yang digagas National Geographic untuk menunjukkan bahwa apa yang kita makan menentukan jati diri kita.
Majalah National Geographic Indonesia edisi Maret 2016 menampilkan kisah bertajuk “Jangan Buang Makananmu” tentang makanan yang terbuang—sebagian karena buruk rupanya. Diceritakan oleh Elizabeth Royte dan fotografer Brian Finke. Narasumber utamanya adalah Tristram Stuart, seorang National Geographic emerging explorer yang sebagian pekerjaan lapangannya didanai National Geographic Society. Cerita ini bagian inisiatif Masa Depan pangan, proyek lima tahun yang digagas National Geographic untuk menunjukkan bahwa apa yang kita makan menentukan jati diri kita.
Majalah ini melacak tersia-sianya makanan ini di beberapa negara. Negara industri kehilangan sedikit buah dan sayur saat produksi, namun justru konsumen yang membuangnya lebih banyak. Sedangkan di negara berkembang, buah dan sayur lebih banyak hilang justru saat proses produksi, namun konsumen membuang lebih sedikit.
“Jangan Buang Makananmu” juga mengajak pembaca untuk membantu mengurangi makanan yang terbuang percuma—baik saat berbelanja di supermarket, bersantap di restoran, memasak dan bersantap di rumah, maupun masyarakat.
Ketika berbelanja di supermarket, kita harus mengambil keputusan dengan hati-hati tentang jenis makanan apa dan berapa banyak yang sebaiknya kita beli. Salah satu caranya, beli makanan beku, yang lebih sedikit terbuang dalam perjalanan dari pertanian ke rak toko. Atau, beli makanan segar di pasar petani lokal.
Ketika di restoran, bawalah pulang sisa makanan kita. Kita juga bisa berbagi hidangan pendamping untuk mengendalikan porsinya. Minta pelayan mengangkat kembali makanan tambahan seperti roti dan mentega yang tidak akan Anda makan.
Pemborosan pangan di planet yang memiliki sumber daya serba terbatas ini adalah sebuah perbuatan yang tidak senonoh.
Ketika di rumah pun kita bisa mengurangi makanan sisa. Caranya, ganti piring kita dengan yang lebih kecil untuk mengendalikan porsi makanan. Santap makanan sisa secara teratur pada satu malam setiap pekan. Manfaatkan makanan sisa. Bekukan atau kalengkan makanan yang berlebih. Olah buah-buahan yang sudah dalu dengan blender, untuk dijadikan minuman. Juga, usahakan untuk tidak membuang makanan yang dalam pengadaannya menghabiskan banyak air seperti daging.
Ketika di masyarakat kita juga bisa memulainya dengan menerapkan ilmu dari mata pelajaran ekonomi tentang dasar-dasar memasak, pengalengan, dan menyimpan makanan. Sejatinya, bisnis, sekolah, badan nirlaba, dan pemerintah bisa mencari cara untuk mengurangi pembuangan makanan.
Pemborosan pangan di planet yang memiliki sumber daya serba terbatas ini adalah sebuah perbuatan yang tidak senonoh. Mari jangan menyia-nyiakan makanan, awali dari kita sendiri.