Dukungan Masyarakat Dibutuhkan untuk Melaksanakan Komitmen Deforestasi

By , Sabtu, 20 Februari 2016 | 15:00 WIB

Perubahan iklim sudah menjadi perbincangan besar di dunia dan harus segera ditindak lanjuti dengan langkah yang nyata. Selama hampir setengah abad, bencana asap masih sering terjadi di beberapa bagian di Indonesia bahkan kian meluas.

Melaui deklarasi Rio Branco, sebanyak enam gubernur di Indonesia ikut menandatangani untuk mengurangi deforestasi sebesar 80% pada tahun 2020. Dengan menggunakan rujukan deforesatasi pada tahun 2001-2009, salah satu pencapaian komitmen dari keenam gubernur ini akan mengurangi laju deforestasi dari rata-rata 323.749 hektar menjadi hanya 64.749 hektar pada tahun 2020. Namun, kembali ke dalam topik perubahan iklim yang di dalamnya mempengaruhi kebakaran hutan, tidak bisa terus diabaikan dan menuntut untuk adanya langkah yang nyata. Kira-kira bagaimana aksi nyata yang sudah dilakukan oleh para perangkat pemerintahan ini dalam menindak lanjuti kejadian perubahan iklim dan kondisi hutan di Indonesia?

Dari perbincangan melalui pertemuan media, Gubernur Kalimantan Barat, Drs. Cornelis, M.H., mengatakan bahwa, "Bersama GCF dan gubernur-gubernur dunia, bagaimana kita bersama-sama, baik pemerintah, pihak swasta dan masyarakat menjaga bumi ini agar tidak terlalu panas, supaya es tidak mencair, dan efek dari gas rumah kaca tidak mebunuh manusia." Pemerintah daerah Kalimantan Barat juga sudah berupaya sekuat tenaga untuk menjaga hutan tidak rusak dengan juga mengendalikan perizinan. Makna menjaga hutan tersebut juga harus memiliki dasar kesejahteraan, kesejahteraan di semua bagi sektor seperti masyarakat yang bekerja di dalam pertanian, perkebunan atau siapa saja dan tidak hanya pihak swasta dan pemerintah saja. Selain itu, melalui program ini, pemerintah daerah juga mengajak partisipasi dan menyadarkan masyarakat global sepakat untuk memikul tanggung jawab bersama dalam hal perubahan iklim dan hutan agar tidak terjadi 'kiamat' akibat perubahan iklim.

Kemudian dari Provinsi Kalimantan Timur yang diwakilkan oleh Riza Indra Riadi, Kepala dari BPLH Kal-tim memaparkan bentuk konkret dari komitmen Rio Branco ialah dengan membuat sebuah aksi nyata dalam penanggungan gas rumah kaca dengan memasukkan ke dalam beberapa peraturan-peraturan daerah misalnya pada peraturan gubernur pada tahun 2014 tentang moratorium dan tidak mengeluarkan perizinan baru lagi dalam investasi-investasi yang berhubungan dengan lahan di hutan dan kemudian mengadakan tata ruang hutan yang hingga saat ini tingggal menunggu keputusan dari Mendagri.

Sedangkan dari Kalimantan Tengah yang diwakilkan oleh Syahrin Daulay, bukti konkret dari komitmen Kal-Teng dalam deklarasi Rio Branco berupa naskah-naskah akademis yang diharapkan dapat mengakomodir pencegahan perusakkan hutan, kemudian mempekuat peraturan daerah dan pergub , dan yang menariknya ialah adanya sebuah reward bagi mereka yang ikut bergabung melestarikan hutan yang bentuknya masih difinalisasi begitu juga sebaliknya, apabila ada pelanggaran akan diberikan hukuman yang bentuknya juga masih difinalisasi. Perlu diketahui, pada kejadian kabut asap yang terjadi di Kalimantan Tengah, pertumbuhan ekonomi di Kal-Teng masih menginjak angka sebesar 7,01 persen. Hal tersebut merupakan suatu harapan bagi pemerintah daerah jika dalam keadaan kabut asap pertumbuhan ekonomi Kal-Teng cukup besar, kedepannya diharapkan apabila tidak ada kabut asap, pertumbuhan ekonomi akan mengalami peningkatan.

Menurut Husaini Syamaun, Kepala Dinas Kehutanan Aceh, pemberdayaan masyarakat hutan itu penting, diharapkan dengan sistim pengelolaan hutan yang sesuai dengan fungsinya, masyarakat hutan bisa hidup dengan layak yang kemudian membuat para masyarakat tidak mudah terpengaruh dengan cukong-cukong hutan yang dapat dengan seenaknya membuka jalan untuk melakukan penebangan hutan dan hasil kayu-kayu tersebut diambil oleh cukong tersebut. Aceh juga melakukan rehabilirasi hutan dengan melibatkan masyarkat dengan mengutamakan pemanfaatan hasil hutan, namun bukan dalam bentuk kayu melainkan seperti getah rotan. Hingga saat ini, sudah ada sebanyak 1000 pekerja yang bekerja dalam mengelola hasil hutan bukan kayu yang diperkirakan memiliki penghasilan sebesar 3,5 juta dalam cakupan yang kecil, dan mencapai 7 juta rupiah dalam skala yang lebih besar. Penyempurnaan tata kelola hutan juga terus dilakukan agar dapat dengan jelas wilayah mana saja yang sudah menjadi kawasan lindung dan keberadaannya harus terus dijaga.

Hutan adalah ibu kandung bagi masyarakat Papua, begitu lah sebuah filosofi turun temurun yang mendalam dan memiliki pengaruh positif untuk melestarikan hutan di Papua. Menurut Noak Kapisa, Kepala BPLH di Papua, sebesar 90% wilayah di Papua adalah hutan dan sebsar 75% merupakan luasan hutan tutupan. Filosofi yang hadir sejak lama, secara turun temurun mengajarkan masyarakat Papua untuk terus menjaga dan melestarikan hutan mereka karena sebagian besar dari kehidupan mereka bergantung pada hutan. Pemerintah daerah juga sangat selektif dalam memberikan izin dan sedang mengevaluasi sebanyak 100 lebih perizinan , apabila ditemukan ketidaksesuaian perizinan tersebut secara tegas tidak akan dikeluarkan.Selain itu, terdapat pula peraturan daerah khusus dalam pengelolaan hutan.

Hal serupa disampaikan pula oleh perwakilan Gubernur Papua Barat, Heman Orisoe selaku kepala satuan tugas pembangunan dalam menyampaikan filosofi hutan sebagai Ibu Kandung masyarakat Papua. Pandangan filosofi tersebut yang membuat masyarakat dengan secara sadar melestarikan hutan untuk keberlangsungan hidup mereka di masa depan. Menegaskan bahwa pelestarian hutan itu penting, pemerintah daerah Papua Barat juga memiliki peraturan khusus daerah dalam pengelolaan hutan.