Hidup di tanah terisolasi Pasifik timur, kita tidak dapat menyalahkan Rapanui berakhir di tenggorokan satu sama lain. Namun, bertentangan dengan kepercayaan populer tentang kematian penduduk kuno misterius Easter Island (Pulau Paskah), data arkeologi terbaru menunjukkan bahwa mereka, mungkin tidak menghapuskan generasinya melalui peperangan kekerasan atau kanibalisme.
Terletak lebih 3.500 kilometer (2.000 mil) di sebelah barat daratan Amerika Selatan, Pulau Paskah diduga pertama kali dijajah oleh Polinesia di abad ke-13. Meskipun lanskap pulau ini tampaknya terpencil, kekurangan sumber daya alam, masyarakat Rapanui bermunculan dari sini, dan berkarya dalam menciptakan hampir 1.000 moai (batu berbebentuk kepala ikonik yang identik dengan pulau Paskah) besar.
Banyak peneliti menyarankan bahwa efek berkelanjutan seperti kehancuran lingkungan, memicu konflik antar penduduk, menyebabkan sebagian dari mereka keluar pulau, dan akhirnya menimbulkan kehilangan banyak penduduk. Sementara pandangan ini telah menjadi cerita yang paling diterima secara luas dari kejatuhan Rapanui, beberapa bukti terbaru menantang kejadian ini.
Misalnya, sebuah catatan sejarah miliki orang Eropa pertama yang mencapai Pulau Paskah pada tahun 1722. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa Rapanui, pada kenyataannya, memiliki hubungan yang seimbang dan berkelanjutan dengan lingkungan mereka, dan mungkin hancur karena penyakit dari Dunia Lama (Afro-Eurasia). Para peneliti tersebut mengkombinasi bukti dengan studi arkeologi artefak kuno,
Selain itu, makalah yang diterbitkan dalam jurnal Antiquity meragukan pandangan populer terkait skenario runtuhnya Rapanui. Mereka mengungkapkan bahwa perang yang meluas di pulau Paskah mungkin terjadi karena kesalahan sejarah. Para penulis meneliti sejumlah alat obsidian disebut mata'a, yang ditemukan dalam jumlah besar di Pulau Paskah, dan sebelumnya telah diidentifikasi sebagai mata panah yang digunakan dalam konflik kekerasan untuk mencapai kesimpulan ini.
Setelah memeriksa 118 mata'a yang dikumpulkan dari empat lokasi terpisah di pulau Paskah, dan mempelajari 305 foto-foto lebih lanjut. Para peneliti mencatat bahwa barang-barang tersebut, pada kenyataannya tidak berfungsi sebagai senjata, melainkan perkakas multifungsi. Misalnya, mereka menggambarkan cara sampel bervariasi dalam bentuk, dibanding mengikuti bentuk tombak definitif yang diperkirakan dari sebuah mata panah.
Bahkan, tak satu pun dari mata'a yang termasuk dalam studi ini telah dibentuk menjadi sebuah panah. Sehingga, para peneliti menyimpulkan bahwa Rapanui membuat senjata yang tidak berbahaya, tidak mampu menusuk kulit, dan tidak lebih mengancam daripada batuan lainnya.
Selanjutnya, setelah memeriksa luka dan tanda pada permukaan mata'a, para peneliti menemukan bukti bahwa mereka telah digunakan untuk berbagai keperluan seperti menggores, pemotongan dan penggilingan, karena itu menunjukkan bahwa mereka tidak digunakan sebagai alat perang, tetapi umumnya sebagai perkakas sehari-hari.
Sebelumnya, penemuan mata'a di pulau Paskah menjadi potongan yang paling menarik dari bukti terjadinya peperangan luas di kalangan Rapanui, namun seluruh versi sejarah mereka sekarang bisa didiskreditkan oleh studi terbaru. Hanya saja, penulis penelitian mencatat bahwa, meskipun temuan mereka bertujuan untuk mengesampingkan penggunaan mata'a sebagai senjata mematikan, ini tidak menutup kemungkinan adanya kekerasan dan pertempuran di antara Rapanui.