Bengkel Kereta di Tepi Zaman

By , Senin, 22 Februari 2016 | 16:00 WIB

Perlahan kereta Kyai Manik Koemolo yang ditarik enam kuda berjalan membelah lautan warga yang memadati jalan di depan Pura Pakualaman, Yogyakarta, Kamis (7/1/2016) siang.

Kereta kuning itu pun gagah memasuki halaman pusat pemerintahan Kadipaten Pakualaman untuk menjemput Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam X yang baru saja dinobatkan dan mengantarnya berkeliling menyapa warga.

Kereta itu diberikan oleh Gubernur Letnan Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles kepada KGPAA Paku Alam I pada 1812.

Kereta yang dibuat di Inggris dan hanya dipakai saat upacara penobatan Adipati Pakualaman itu terakhir digunakan ketika KGPAA Paku Alam IX naik takhta pada 26 Mei 1999.

Meski berusia lebih dari dua abad, kereta masih terawat berkat tangan-tangan terampil keluarga almarhum Harjowiyono yang turun-temurun memelihara kereta milik Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Agar tetap gagah, kereta Kyai Manik Koemolo diperbaiki di bengkel kereta kuda yang dikelola keluarga itu di Desa Patalan, Jetis, Bantul, DI Yogyakarta.

Perbaikan dimulai dengan ritual doa untuk memohon kelancaran dan keselamatan selama restorasi.

”Ritual doa ini khusus hanya saat hendak memulai perbaikan kereta milik Keraton Yogyakarta atau Pura Pakualaman,” ujar Paidi (57), putra sulung dari lima bersaudara keturunan Harjowiyono sekaligus pemimpin bengkel.

Ritual dimulai dengan peletakan beberapa ayam yang telah dimasak serta sejumlah makanan dan buah pisang di bawah kereta Kyai Manik Koemolo.

Setelah Paidi dan Jiyono, anak bungsu dari keluarga Harjowiyono, berdoa di depan kereta, ritual disambung dengan menyantap makanan bersama.

Pengerjaan restorasi di bengkel itu menggunakan alat konvensional tanpa sedikit pun sentuhan teknologi modern.

Pemanasan besi baja untuk penguat lingkar roda, misalnya, dilakukan di atas bara api pada arang yang ditiup dari katup yang didorong oleh tenaga manusia.

Kini, alih keahlian memperbaiki kereta kuda yang berlangsung lebih dari seratus tahun turun-temurun itu terancam terhenti. Para tenaga ahli di bengkel itu menua dan anak-anak dari lima bersaudara itu sebagian memilih profesi lain.

Profesi pelestari kereta kuda kurang diminati. Seperti memudarnya bermacam keahlian yang dilandasi tradisi, bengkel kereta di tepi desa ini menghadapi senjakala.