Sejumlah 400 karya sketsa, drawing, dan cat air di atas media kertas karya Srihadi Soedarsono dalam kurun waktu tahun 1946-2007 akan dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta pada tanggal 11-20 Februari 2016 mendatang.
Bukan sekadar diversifikasi media untuk melukis, selama ini Srihadi terkenal sebagai pelukis di atas kanvas, tetapi lukisan tersebut merupakan dokumen sejarah yang bercerita tentang perjalanan negeri ini. Sketsa menuntun kecepatan respon terhadap realita yang terjadi pada saat Srihadi melukis. Sedangkan drawing merupakan tahap lanjut dari sketsa dengan menambahkan lebih banyak unsur termasuk warna.
Lukisan di media kertas Srihadi bukan sekadar pelukis yang mengabdi untuk seni, tetapi dia juga “jurnalis” yang mencatat peristiwa melalui bahasa gambar. Dia hadir dalam peristiwa sejarah kemudian mengabadikannya dalam karya di media kertas ini.
Menurut Dr. A. Rikrik Kusmara M.Sn selaku kurator menjelaskan bahwa peradaban ada 4 pilar yaitu filsafat, agama, sains, dan seni. “Srihadi seorang wartawan penulis, bukan sekadar berkarya tetapi secara intelektual mengolah,” katanya.
Sebagai contoh, karya Srihadi pada masa keikutsertaannya dalam perang gerilya pada tahun 1947 yang menggambarkan situasi perang dalam karya drawing-nya yang berjudul Reruntuhan Kapal VT-CLA tahun 1947.
Lukisan karya Srihadi Soedarsono (Titik Kartitiani)
Pada tahun yang sama, Srihadi membuat karya drawing Preside Pertama RI Soekarno dan lukisan wajah delegasi perundingan Komisi Tiga Negara. Tak hanya itu, Srihadi juga mendokumentasikan aksi Belanda pada tahun 1948 dengan judul Penggeledahan Rumah Rakyat oleh Tentara Belanda.
Memasuki masa kepemimpinan Orde Baru pada tahun 1970-an, Srihadi pun membuat lukisan bertema kritik sosial tentang sindiran terhadap kebijakan pemerintah. Misanya lukisan dengan judul Raden Saleh dalam Seragam Militer (1971)
Lukisan ini sebagai bentuk kegelisahan Srihadi terhadap kuatnya peranan militer pada saat itu sedangkan seniman-budayawan terpinggirkan. Tema kekuatan militer ini juga dihadirkan pada tahun 1973 dengan judul Toga-Toga Hijau, sebuah peristiwa berdarah ketika kebebasan perguruan tinggi dimasuki oleh kekuatan militer dengan kekerasan.
Lukisan itu berupa tiga orang guru besar yang mengenakan toga hijau tanpa mulut. Bertema pembungkaman era Orba, Beauty Contest merupakan lukisan jajaran perempuan tanpa mulut dengan selempang nama koran-koran yang beredar pada tahun 1971. Lukisan itu merupakan kritik Srihadi terhadap media koran yang terpaksa harus dibungkam atau membungkamkan diri.
Lukisan berjudul 'Anak-Anak Irian dan Coca Cola' karya Srihadi Soedarsono (Titik Kartitiani)
Tak hanya kritik terhadap pemerintah, Srihadi juga menanggapi perubahan budaya dan teknologi yang terjadi di Indonesia kurun waktu tahun 1970-an. Misalnya sebuah situasi menyedihkan secara sosio-kultural terjadi di Tanah Papua (kala itu namanya Irian Barat) tertuang dalam lukisan berjudul Anak-Anak Irian dan Coca Cola (1974).
Ia ingin menyampaikan pesan bahwa tercerabutnya masyarakat dari budaya aslinya secara mendadak akan mengakibatkan kebingungan sosial. Selain pengaruh pada manusia, juga pada alam. Lukisan Sawah dan Traktor, Heli dan Hutan, dan Tanker yang dibuat pada tahun 1974 menceritakan tentang teknologi tinggi yang masuk ke dalam hutan rimba, sebuah realitas bahwa teknologi modern akan merusak alam apabila tidak diperlakukan secara benar dan baik.
Karya di media kertas ini merupakan cara lain Srihadi (84 tahun) mengekspresikan rasa cintanya pada tanah air. Melalui proses kesadaran, logika rasa, dan pengalaman spiritual, semua terangkum dalam karyanya. Proses berkarya Srihadi merupakan perjalanan panjang, rentang 70 tahun yang tertuang dalam 400 karya di media kertas, sisi lain dari karya kanvas Srihadi. Tak hanya membaca sejarah Indonesia melalui karyanya, 70 Tahun Rentang Kembara Rasa, judul pameran tunggal ini, juga merupakan dokumentasi sejarah seni rupa Indonesia modern.