<i>Shadow of the Past</i>, Bayang-bayang Masa Lalu dari Kota Candu

By , Jumat, 23 September 2016 | 15:00 WIB

Bagi seniman Arahmaiani Feisal, pecinan kota Lasem di Kabupaten Rembang Jawa Tengah sangat menginpirasi. Kota candu yang pernah punya peran penting pada masa kolonial itu baginya seperti sebuah bayang-bayang dari masa lalu saat kebudayaan Buddha masih hidup di Nusantara.

Arahmaiani menjadi salah satu seniman kontemporer Indonesia paling ikonik dan dihormati. Karya-karyanya dikenal dunia internasional berkat komentar yang kuat dan provokatif pada isu-isu sosial dan budaya. Dia merupakan dosen di Departemen Asia Tenggara Universitas Passau, yang juga lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung.

“Seperti Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-7 tapi terkubur selama 800 tahun dan baru ditemukan kembali 200 tahun yang lalu, hal-hal dari masa lalu ternyata nanti bisa muncul lagi seperti Boroubudur. Kearifan dan kebijaksanan akan muncul kembali walau telah lama terkubur,” ujar Arahmaiani.

Shadow of The Past (Feri Latief)

Maka ia pun melumuri sekujur tubuhnya dengan lumpur sebagai simbol dari tanah yang mengubur masa lalu. Ia membungkus dirinya dengan selembar kain abu-abu sewarna lumpur, bak pendeta Buddha. Lalu melakukan seni pertunjukan  di jalan-jalan dan bangunan tua kota Lasem. Pada 2015 lalu juga melakukan seni pertunjukan serupa di kota Gotheberg, Swedia.

Shadow of The Past (Feri Latief)

Dalam dunia seni kontemporer, seni penampilan dianggap sebagai yang paling radikal. Dalam sejarah pemunculannya di Eropa, seni penampilan melancarkan kritik pada kemapanan. Tak ada pakem yang membatasi seni penampilan, sangat semena-mena. Masing-masing seniman bebas membuat definisi sendiri dan berusaha menghilangkan batas-batas. Sehingga muncul pertanyaan apakah seni penampilan itu juga karya seni?

Satu hal yang pasti, seni penampilan Arahmaiani di kota tua Lasem tak bisa apa disebut sebagai seni tari, seni suara, pantomim, teater, atau apapun defenisi tentang seni pertunjukan, karena batasan-batasannya menjadi kabur.

Shadow of The Past (Feri Latief)

Sekujur tubuhnya yang dilumuri lumpur keabuan bak dandanan artis teater, gerakannya yang gemulai bak penari Bedoyo, kadang ia berguman entah nyanyian, pantun atau mantra. Yang ada di benaknya, Lasem adalah bayangan dari masa lalu yang terkubur oleh sejarah dan sewaktu-waktu bisa muncul kembali. Kebijaksanaan tak akan pernah hilang dari sejarah umat manusia.

Shadow of The Past (Feri Latief)

Pada tanggal 15 September-29 Oktober 2016, Arahmaiani menggelar pameran tunggal bertajuk Shadow of the Past di Galeri Seni Kontemporer Tyler Rollins Fine Art, New York. Pameran ini terinspirasi dari pengalamannya berinteraksi dengan para biarawan dan orang awam di Desa Lab, di wilayah Kham, Tibet, selama enam tahun. 

"Karya-karya baru saya mungkin lebih berkontemplasi pada kondisi kehidupan saat ini, yang penuh masalah dan tantangan serta berada di bawah ancaman kehancuran ekologi. Selain itu, juga menggambarkan penderitaan mereka yang miskin dan terpinggirkan karena sistem ekonomi yang cenderung berorientasi profit," katanya. 

Shadow of The Past (Feri Latief)

Karya-karya terbaru Arahmaiani dalam bentuk lukisan, video dan instalasi, juga dipengaruhi oleh penelitiannya tentang budaya masa lalu dari Animisme, Hindu, dan Buddha di Indonesia, yang meninggalkan banyak candi, termasuk candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur.

Aspek lain, yang tidak kalah penting dan sangat berpengaruh dalam pembentukan ide-ide dan pikiran Arahmaini adalah kolaborasinya dengan akademisi di Passau University di Jerman.

Shadow of The Past (Feri Latief)

Kolaborasi tersebut telah memberikan masukan untuk Arahmaiani mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dengan semua tantangan, masalah dan keterbatasannya.

Selain itu, ia juga berkolaborasi dengan para pemimpin spiritual dari berbagai agama: Islam, Katolik, Protestan, Yahudi, dan Hindu, yang tentu saja menawarkan banyak masukan serta pemahaman tentang beragam agama, budaya, dan tradisi spiritual.

Shadow of The Past (Feri Latief)

“Saya mencoba membayangkan masa depan yang cerah bagi kehidupan dan mencoba untuk mengubah arah pemikiran yang menyebabkan kerusakan dan kondisi yang tidak manusiawi,” pungkas Arahmaiani.