Indonesia Butuh Lebih Banyak Jurusan Astronomi di Perguruan Tinggi

By , Sabtu, 27 Februari 2016 | 12:00 WIB

Antusiasme masyarakat Indonesia untuk mempelajari ilmu astronomi membludak dalam beberapa tahun terakhir. Hasrat untuk mengetahui lebih banyak tentang antariksa dan benda-benda langit mendorong masyarakat untuk membentuk perkumpulan bagi sesama pecinta astronomi. Klub-klub astronomi pun mulai banyak bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Di klub tersebut, para peminat dan penggiat astronomi saling berbagi informasi, berdiskusi, dan melakukan pengamatan langit.

Ironisnya, di satu sisi  klub-klub astronomi begitu menjamur, tapi di sisi lain, hanya ada satu tempat pendidikan formal astronomi di seluruh Indonesia, yakni di Institut Teknologi Bandung (ITB).

"Kunci eksplorasi antariksa bukanlah pada alat atau instrumen astronomi, melainkan sumber daya manusianya"

Peminat jurusan astronomi di ITB termasuk tinggi, dengan indeks persaingan 1:100. “Kami terus terang kelabakan dengan animo masyarakat terhadap astronomi yang sangat tinggi,” ujar ahli astronomi ITB, Hakim Luthfi Malasan. Dosen astronomi ITB yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Observatorium Bosscha periode 2010-2012 ini menambahkan bahwa sudah saatnya ada jurusan astronomi di perguruan tinggi lain di Indonesia.

Perlu diingat, Indonesia bisa dikatakan terdiri dari tiga wilayah: Barat, Tengah dan Timur. Namun, selama ini sarana dan prasarana untuk mempelajari astronomi masih terpusat di Pulau Jawa.

Di negara-negara yang lebih maju, penelitian dan pendidikan astronomi berjalan selaras. Hakim mencontohkan, Jepang yang luasnya hanya setengah dari negara kita memiliki setidaknya 10 jurusan astronomi di perguruan tinggi.

“Jangan sampai, jurusan astronomi justru dibuka oleh lembaga pendidikan asing yang ada di sini karena kita sendiri nggak siap,” ujarnya.

Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia karena animo masyarakat untuk belajar astronomi semakin tinggi, sementara wadah pendidikan formal bidang astronomi sangat terbatas.

SDM, Kunci Eksplorasi Antariksa

Hakim menuturkan bahwa perlu dilakukan perubahan fundamental dalam paradigma pendidikan di Indonesia. Dibutuhkan upaya lebih untuk mengembangkan SDM di bidang astronomi dan kedirgantaraan, sebab kunci eksplorasi antariksa bukanlah pada alat atau instrumen astronomi, melainkan sumber daya manusianya.

Tidak akan ada gunanya jika kita membeli dan membangun begitu banyak peralatan, tetapi tidak ada SDM yang mengoperasikan dan membuat alat tersebut menjadi produktif.

“Intinya, pembangunan infrastruktur astronomi juga harus selaras dengan pengembangan sumber daya manusianya,” tegas Hakim.

Jika menilik beberapa negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Thailand, pendekatan mereka untuk mengembangkan astronomi adalah dengan membangun sebanyak-banyaknya sarana prasarana. Akan tetapi pengembangan SDM mereka lamban. Sehingga banyak sekali instrumen astronomi mereka yang masih nganggur karena sumber daya manusianya minim. Mereka memiliki solusi instan, yaitu dengan menyewa tenaga ahli dari luar negeri.

Dibandingkan negara tetangga, Indonesia punya kebanggaan tersendiri karena putra putri bangsa mampu berkarya. Hampir semua proyek kedirgantaraan dan astronomi di negara ini dikerjakan oleh tenaga ahli asli Indonesia.  

“Saya lebih senang begitu. Jika kita menyewa tenaga ahli dari luar, apa bedanya dengan membangun kesebelasan yang tangguh tapi sebagian besar pemainnya adalah pemain asing?” pungkas Hakim.