Penyu yang mengkonsumsi plastik, baik secara langsung atau melalui mangsa yang terkontaminasi, akan menjadi terlalu ringan. Ia harus berjuang keras menyelam untuk mencapai makanan. Efek ini dikenal sebagai Sindrom Floater, salah satu cara plastik membahayakan kura-kura laut.
(Baca : )
Penulis utama penelitian ini, Dr Qamar Schuyler dari University of Queensland memperkirakan tahun lalu terdapat setengah penyu di dunia telah mengkonsumsi plastik. Makalah ini juga mengeksplorasi efek pada dua spesies secara lebih rinci.
"Jenis sampah yang paling umum ditemukan pada penyu sehari-hari adalah puing sampah dari pembungkus makanan, kemasan, kantong plastik, stiker buah dan balon," kata Schuyler dalam sebuah pernyataan.
Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) terbukti sama rentan terhadap makanana polutan berbahaya, namun habitat keduanya membuat perbedaan besar.
Fase Bentik (makan di bawah laut) penyu memiliki selektivitas kuat untuk sesuatu yang lembut, seperti plastik bening, memberikan dukungan terhadap hipotesis bahwa penyu menelan sampah plastik karena menyerupai mangsa alami mereka, yakni ubur-ubur. Sedangkan pada Fase Pelagik (makan di laut terbuka) penyu jauh lebih selektif dalam mencari makanan, meskipun mereka menunjukkan kecenderungan selektivitas terhadap produk karet, seperti balon."
(Baca pula : Ada Garpu Plastik di Lubang Hidung Penyu Ini)
Temuan ini menambah temuan mengerikan yang tanpa perubahan drastis, akan ada lebih banyak plastik di lautan daripada ikan pada tahun 2050.
Schuyler dan rekan penulis meminta konsumen untuk menolak kemasan plastik dan sedotan sebisa mungkin, dan bagi pemerintah dan industri diharapkan melakukan upaya pencegahan plastik mencemari lautan.