Kurangnya Alat Bukti Bukan Alasan untuk Memenangkan Pelaku Perusakan Hutan

By , Jumat, 18 Maret 2016 | 06:00 WIB

Memasuki akhir tahun 2015, Indonesia dan wilayah sekitar harus melewatinya dengan dikelilingi oleh kabut asap dari krisis kebakaran hutan yang bisa dibilang terparah dari tahun-tahun sebelumnya. Pada awal November, total emisi akibat kebakaran hutan ini sudah mencapai angka yang melebihi emisi bahan bakar fosil tahunan milik Jepang .

Berbagai tuduhan dijatuhkan pada perusahaan-perusahaan yang diperkirakan menjadi penyebab dari munculnya kabut asap dari lahan mereka. Masih sangat teringat jelas bahwa sempat terdapat kasus yang dilayangkan oleh pemerintah pusat terhadap salah satu perusahaan karena menyebabkan kebakarn hutan, namun pengadilan justru memenangkan perusahaan dan menilai bahwa perusahaan tersebut tidak merusak hutan karena perusahaan itu sendiri juga mengalami kerugian.

Padahal menurut sebuahhasil laboratorium, tidak ada indikasi tanaman yang mengalami kerusakan setelah lahan tersebut dibakar, tanaman akasia nyatanya masih bisa tumbuh dengan baik. Selain itu, pihak penggugat juga tidak dapat memberikan bukti yang cukup untuk dapat melawan kelalaian hukum yang dilakukan oleh PT yang bersangkutan.

Menurut Bambang Widjojanto, pembebasan gugatan pemerintah untuk perusahaan tersebut terjadi karena adanya permasalahan dalam menunjukkan alat bukti. Biasanya dalam kasus serupa terdapat jarak antara terjadinya kebakaran dan informasi kepada penegak hukum membutuhkan waktu untuk membuktikan hal tersebut.

Saat ini ketebukaan terhadap data tersebut sudah tersedia, dengan adanya data semacam ini (peta digital) para penegak hukum sudah tidak dapat membantah gugatan karena buktinya yang diperlukan sudah didapatkan.

"Bisa dibilang saat ini para penegak hukum sudah dimudahkan, jadi seharusnya sudah tidak ada permasalahan dalam bagaimana membuktikannya, karena buktinya sudah ada."

Bambang Widjojanto juga sempat mengatakan bahwa hanya sekitar 50.000 kasus kebakaran hutan yang sudah terselesaikan dari total kasus sebanyak 2.000.000 .

Menurut dugaan Bambang, hal tersebut terjadi karena area hutan yang terbakar terlalu luas, sehingga kasus yang diselesaikan hingga saat ini mencapai 50.000 kasus saja. Kemudian yang kedua adalah sensitifitas, permasalahan kebakaran hutan ini tidak menjadi salah satu prioritas untuk ditanggapi. Sehingga ketika permasalahan kebakaran hutan sudah mencapai status darurat baru mulai diselesaikan.

"Ketika permasalahan kebakaran hutan menjadi prioritas, early warning kita dengan sendirinya akan berjalan dan segera menanggapi dan menyelesaikan permasalahan dengan segera," tegas mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

Jika sebelumnya kasus-kasus kebakaran hutan yang terjadi mempertanyakan dimana bukti yang pasti, saat ini para penegak hukum sudah tidak dapat menjadikan alat bukti sebagai permasalahan yang menunda tindakan hukum kepada para pelaku.

Dengan bantuan peta digital, para penegak hukum sudah dimudahkan dan dapat segera menindaklanjuti permasalahan dan membantu mengurangi kasus serta meningkatkan sensitifitas terhadap masalah tersebut agar kebakaran hutan tidak kembali terjadi pada tahun-tahun yang akan datang.

baca juga : Peta Digital Bantu Hentikan Kebakaran Hutan Indonesia