Pengungsi Tiga Kali Lebih Mungkin Mengembangkan Skizofrenia

By , Sabtu, 26 Maret 2016 | 10:00 WIB

Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa trauma psikologis yang dialami oleh orang yang terkena dampak krisis bisa bertahan lama setelah perjalanan mereka berakhir. Memeriksa tingkat skizofrenia di Swedia, para peneliti menemukan bahwa pengungsi yang diberikan suaka di negara Skandinavia itu 3,6 kali lebih mungkin untuk mengembangkan kondisi skizofrenia daripada warga Swedia.

(Baca : Kenali Skizofrenia, Tangani Sedini Mungkin!)

Para peneliti mengumpulkan data lebih dari 1,3 juta orang, termasuk pengungsi, migran non-pengungsi dari daerah geografis yang sama, dan mereka yang lahir di Swedia. Informasi diperoleh dari beberapa database nasional seperti register pasien nasional (memberikan rincian dari semua masalah medis yang tercatat secara resmi),  database imigrasi dan emigrasi (berisi data yang berhubungan dengan status semua migran dan pengungsi di Swedia).

Semua peserta terpilih lahir pada atau setelah tanggal 1 Januari 1984, dan secara retrospektif diikuti setelah ulang tahun ke-14 mereka - atau tanggal kedatangan mereka di Swedia, jika lebih tua dari 14 tahun pada saat itu - sampai dengan 31 Desember 2011.

Penulis penelitian melaporkan bahwa selama periode ini, 66 persen pengungsi lebih mungkin didiagnosis dengan gangguan psikotik non-afektif skizofrenia atau selain imigran non-pengungsi dari negara yang sama.

Psikosis non-afektif merupakan istilah umum yang mencakup semua episode singkat dari penyakit mental akut yang melibatkan realitas terganggu, sebagai lawan gangguan terkait suasana hati atau emosional. Hal ini dapat disebabkan oleh sejumlah faktor genetik dan lingkungan, dan telah ditemukan menjadi hal umum bagi orang yang menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

PTSD adalah suatu kondisi dimana kenangan menyedihkan spontan mengganggu pikiran biasa, dan mungkin umum di antara orang-orang yang melarikan diri dari krisis kemanusiaan. Di antara para pengungsi, dalam penelitian ini adalah mereka yang telah kehilangan tempat tinggal akibat konflik di Afghanistan dan Iran, dan kelaparan di Afrika Timur - banyak di antaranya mengalami episode yang sangat traumatis.

Berdasarkan bukti ini, para penulis penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang melarikan diri dari krisis yang lebih baru di tempat-tempat seperti Suriah dan Kosovo juga dapat menghadapi risiko yang sama tinggi mengembangkan psikosis non-afektif.

(Baca pula : Petunjuk Epigenetik untuk Skizofrenia dan Gangguan Bipolar)

Peneliti menyarankan para pejabat untuk memperhatikan kesehatan pengungsi dengan mengenali tanda-tanda awal dari gangguan tersebut. Pada tingkat yang lebih luas, temuan juga menambah semakin banyak bukti bahwa paparan terhadap kesulitan psikososial meningkatkan risiko skizofrenia dan bentuk lain dari psikosis.