Ketika Krisis Air di Depan Mata

By , Selasa, 22 Maret 2016 | 13:30 WIB

Kurang dari 1 persen jumlah air di Bumi yang dapat dikonsumsi makhluk hidup. Jumlah sumber daya alam yang terbatas ini pun kian tertekan oleh pertumbuhan jumlah penduduk dan industri di dunia.

Sebanyak 99 persen lebih jumlah air di Bumi adalah air asin atau beku yang tak bisa digunakan untuk minum, mandi, atau menyirami tanaman. Forum Ekonomi Dunia menempatkan isu krisis air pada posisi nomor satu sebagai tantangan global yang akan dihadapi dalam satu dekade mendatang.

Saat ini, 1 dari 10 penduduk dunia tidak memiliki akses ke air bersih. Dan 1 dari 3 penduduk dunia tidak mendapat akses toilet. Padahal, akses air bersih dan sanitasi menjadi mata rantai utama untuk mendapatkan kesehatan yang baik. Kesehatan menjadi cikal bakal bagi seseorang untuk dapat memperoleh pendidikan, perbaikan ekonomi dan kesejahteraan hidup.

Ironisnya, data dari Water.org menyebutkan, lebih banyak orang yang memiliki sebuah ponsel ketimbang akses toilet. Hal ini terjadi ketika akses informasi dunia semudah menggeserkan jari di layar ponsel. Sementara itu, masih banyak warga dunia yang berjuang untuk mendapatkan air demi hidup.

Persaingan antara sumber daya air dan kehidupan terus berlanjut. Lahan hijau yang berguna sebagai konservator air bersih sebagai lahan permukiman. Demi nama pembangunan dan kemajuan industri, berbagai lahan hijau pun tersapu bersih. Sebagai contoh, 55 persen sungai di Tiongkok hilang dalam waktu 20 tahun terakhir karena digunakan untuk kebutuhan industri.

Oleh karena itu, hati pun waswas akan banjir ketika hujan turun deras hampir setiap hari. Kala musim kemarau tiba, hati waswas karena kesulitan air. Fenomena ini juga terjadi di depan mata. Dalam triwulan pertama 2016 ini, tercatat beberapa wilayah di Indonesia terkena banjir. Pada Selasa (15/3), harian Kompas mencatat banjir terjadi di Bandung, Jawa Barat; Ketapang, Kalimantan Barat; DI Yogyakarta; Ende, Nusa Tenggara Timur; dan di Pangkalan Koto Baru, Sumatera Barat.

Ironisnya, masyarakat di Kalimantan Timur, justru mengalami krisis air dengan terus menyusutnya sumber utama air baku Perusahaan Daerah Air Minum Balikpapan. Diperkirakan akan habis dalam dua pekan. Hanya hujan deras yang masuk ke waduk untuk bisa kembali mengisi waduk. DKI Jakarta, sang Ibu Kota pun dalam kondisi kritis. Sebagian besar air tanah sudah tidak memenuhi standar kualitas air minum.

Peringatan Hari Air Sedunia tiap 22 Maret mengingatkan kembali fenomena krisis air yang mengglobal. Tanpa ada perubahan nyata, baik dalam perilaku sehari-hari maupun dunia industri dengan kebijakan pemerintah yang tepat, pada 2030 kebutuhan air akan lebih besar 40 persen dari jumlah yang tersedia.

 Penggunaan air ini tidak hanya menghitung dari konsumsi air yang terlihat secara nyata, tetapi juga yang tidak terlihat. Nyatanya sekitar 95 persen penggunaan air sehari-hari itu tidak terlihat secara langsung. Tersembunyi di balik baju yang kita kenakan, makanan dan konsumsi sehari-hari.