Bukan Cuma Uber dan Grab, Ini "Perusak" Industri Lainnya

By , Minggu, 27 Maret 2016 | 10:00 WIB

Jalanan Jakarta disesaki sedan berpelat kuning, Selasa (23/3/2016) kemarin. Pengemudinya berunjuk rasa agar pemerintah memblokir Uber, Grab, dan layanan transportasi berbasis aplikasi serupa.

Dalihnya beragam. Mulai dari status usaha Uber yang belum jelas, hingga prosedur uji kelayakan angkutan umum Grab yang tak juga rampung. Paling utama, Uber dan Grab dianggap mengusik kemapanan Blue Bird, Express, dan perusahaan taksi konvensional lainnya.

Bagaimana tidak, baru sekitar dua tahun beroperasi di tanah air, Uber dkk sudah merampas rata-rata 40 persen jatah profit taksi tradisional. Kondisi inilah yang belakangan disebut disruptive alias merusak.

Uber dan Grab "merusak" tatanan sistem transportasi dengan memanfaatkan teknologi. Masyarakat cukup memesan kendaraan via aplikasi di smartphone. Mekanisme pembayaran pun bisa dipilih. Menggunakan kartu kredit, debit, atau tunai.

Selain itu, dibandingkan taksi tradisional, tarif Uber dkk lebih murah sekitar 30 persen pada kondisi normal. Hal ini dimungkinkan konsep "sharing economy" atau ekonomi berbagi yang lebih efisien.

Sederhananya, Uber punya aplikasi, orang A punya mobil, dan orang B ingin menumpang. Uber tak memiliki satu pun mobil angkutan dan tak memperkerjakan satu pun sopir. Semuanya bersifat kemitraan.

Karenanya, Uber tak perlu mengeluarkan ongkos perawatan mobil, seragam sopir, pool, dan sebagainya. Beda dengan konsep taksi tradisional yang semuanya serba memiliki (owning economy). Alhasil, alokasi biaya lebih banyak, argo layanan pun lebih mahal.

Bukan cuma Uber dan Grab

Inovasi "disruptive" bukan cuma milik Uber dan Grab. Lebih tepatnya, bukan cuma industri transportasi yang dihantam perkembangan teknologi. Sektor-sektor lain pun merasakan imbas serupa.

Misalnya Facebook yang mengusik eksistensi industri media, Airbnb yang mengkhawatirkan industri perhotelan, serta Amazon yang mendominasi industri retail.

Facebook

Facebook adalah jejaring sosial dengan 1 miliar pengguna aktif setiap harinya. Politikus, sutradara, artis, jurnalis, para opinion leaders, hingga masyarakat umum, bergabung di platform tersebut.

Mereka membagi pengalaman saat melihat atau merasakan sesuatu lewat unggahan berbasis teks, foto, maupun video. Kontennya beragam, mulai dari yang bersifat personal (galau kerjaan, galau percintaan, dan lainnya), hingga peristiwa masif (bencana alam, aksi terorisme, atau kecelakaan).

Karenanya media sosial unggul dalam kecepatan informasi dibandingkan media massa. Sifatnya lebih real-time, pengguna pun lebih fleksibel untuk saling berkomentar.

Tapi ada satu hal yang kurang dari media sosial dan masih jadi kemewahan organisasi media, yakni verifikasi. Begitu banyak kabar berseliweran di Facebook tanpa ada jaminan kebenaran karena semua orang bisa bicara.

Melihat celah ini, Facebook membuat Instant Article (IA) pada pertengahan 2015 lalu. Menggandeng organisasi media arus utama, IA tak ubahnya pengepul konten berita yang sudah melewati tahap verifikasi. Dengan adanya IA, tak ada alasan netizen beranjak dari Facebook.

Ingin tahu kabar teman? Lihat Facebook. Ingin tahu berita terkini yang disajikan berbagai media massa? Lihat Facebook. Padahal, sama seperti Uber yang tak punya mobil, Facebook pun tak membuat konten apapun.

AirBnB

AirBnB yang merupakan akronim dari Air Bed and Breakfast, juga sama merusaknya bagi industri perhotelan. Layanan berbentuk situs dan aplikasi tersebut memediasi kepentingan penyedia kamar dan orang yang butuh kamar menginap.

Misalnya orang A punya kamar kosong di rumah atau apartemen. Ia cukup menawarkan kamar tersebut via AirBnB ke para pelesir yang butuh tempat menginap bertarif rendah.

Jika ada yang tertarik, orang A bakal dapat pemasukan tambahan. Jika tidak, orang A pun tak rugi. Sebab, orang A tak seperti pengusaha hotel yang harus bayar resepsionis, cleaning service, serta mengeluarkan ongkos pemeliharaan hotel.

Mulanya AirBnB menyasar para pelancong dengan bujet terbatas. Lama-lama banyak kamar di Airbnb yang sebelas duabelas dengan kamar-kamar hotel mewah. Yang terpenting, harganya tetap lebih murah. Maka para pelancong berbujet tinggi sekalipun tertarik memesan kamar di situs tersebut.

Artinya, AirBnB pun sudah masuk ke pasar yang harusnya diraup hotel. Jika kiprahnya di tanah air makin meluas, tak menutup kemungkinan Airbnb juga bakal diprotes para pemilik penginapan dan hotel resmi.

Padahal, sekali lagi, Airbnb adalah layanan penginapan tanpa satupun aset properti.

Amazon

"Perusak" lainnya adalah Amazon. Perusahaan yang berdiri sejak 1994 tersebut adalah cikal bakal maraknya perdagangan elektronik alias "e-commerce" saat ini.

Kiprahnya telah menggeser tatanan sistem jual beli masyarakat yang dilanggengkan selama berdekade. Kini, masyarakat tak perlu ke mal untuk membeli barang. Cukup lihat katalog produk dari berbagai situs e-commerce dan kemudian memesan barang yang ingin dibeli.

Hari ini kita mengenal Alibaba, Lazada, Tokopedia, Bukalapak, OLX, Elevania, dan sebagainya. Meski masing-masing telah memodifikasi model bisnis, benang merahnya tetap sama, yakni memudahkan proses jual beli masyarakat.

Bermula dari Amazon, ekosistem e-commerce saat ini tumbuh paling subur di antara bisnis digital lainnya.

Para "perusak" industri ini mengandalkan teknologi untuk tujuan hidup yang lebih praktis. Sama seperti perkembangan teknologi yang tak terelakkan, kehadiran para "perusak" ini pun sukar diberantas.

Di tengah konflik kepentingan antara si tradisional dan si "perusak", pemerintah diharapkan bisa menengahi lewat regulasi yang seyogyanya memenangkan semua pihak.