Seperangkat gamelan berusia lebih dari seabad akan dijual! Inilah kendala yang dihadapi para pelestari warisan benda di kawasan cagar budaya. Saat generasi penerus keluarga mulai banyak yang meninggalkan gamelan dengan pelbagai alasan seperti perawatan yang sulit, tiada lagi kelompok penabuh gamelan atau pun karena mengundang penabuh dan sinden dapat dipastikan cukup mahal, nasib gamelan pun dipertaruhkan. Pada akhirnya, gamelan kuno yang menua akan berakhir dikungkung debu atau berpindah tangan karena dijual oleh pewaris gamelan tersebut dengan alasan ekonomi. Itulah salah satu kondisi dan kendala yang dihadapi dalam pelestarian benda pusaka di Nusantara, tak terkecuali di Lasem, Rembang-Jawa Tengah.
Lasem, kota tua yang dibangun sejak masa Majapahit, dibesarkan oleh kebudayaan Hindu Budha, Islam, Jawa, Cina, Arab dan Eropa. Terutama pada masa perdagangan candu abad 18-20, Lasem dibangun secara megah oleh orang Tionghoa pachter candu dan pengusaha batik pada pertengahan abad 19. Rumah kuno nan megah menjadi saksi bisu kejayaan Lasem masa candu tumbang dan batik Lasem berkembang pada tahun 1860an. Gamelan pun menjadi salah satu tengara keberadaan silang budaya Cina Jawa Islam di Lasem. Orang Cina Lasem pada masa itu begitu menggandrungi gamelan dan menjadi penikmat repertoar pelog dan selendro serta lagu-lagu Jawa Islam seperti Lir-Ilir, lagu ciptaan Sunan Kalijaga pada abad 15.
Gamelan digunakan oleh beberapa wali (Wali Sanga) pada abad 14 sebagai media menyampaikan ajaran dan keindahan pesan-pesan ayat Al Quran untuk hidup manusia.
Gamelan laras pelog yang saat ini dimiliki keluarga Tjoo akan segera tutup usia dan akan dijual karena perawat gamelannya menyatakan tidak dapat merawatnya lagi. Sejarah gamelan tersebut cukup panjang, tercatat gamelan tersebut berpindah tangan dari Blora – Rembang – Lasem mulai tahun 1919-1925. Sebuah perjalanan yang cukup lama untuk sebuah gamelan berpindah. Dalam catatan akta gamelan tersebut hanya dicantumkan bahwa gamelan dijual oleh Tan Siah Mei asal Blora kepada Lie Hwan Jiang asal Lasem. Proses legalnya dimulai pada tahun 1919 dengan perantara Tjan Tok Sien. Setidaknya, diduga gamelan pelog tersebut dibuat pada akhir abad 19. Gamelan tersebut terbuat dari kuningan tebal, memiliki motif khas Tionghoa, terdapat gambar kelelawar dan burung hong. Kedua ragam hias ini merupakan simbol kemakmuran dan keindahan yang juga banyak digunakan sebagai ragam hias pada bangunan, lukisan dan batik pesisir.
Miris terasa saat saya menyaksikan proses pencucian gamelan yang dijuluki Kiai Nggower tersebut. Perlu waktu paling tidak empat hari untuk membersihkan kuningannya agar tampak mengilap. Sudah 18 tahun Gandor Sugiharto (70) merawat sang kiai. Dalam keluhnya ia berkata,”Saya sudah tua, tak sanggup lagi merawatnya. Maka saya minta pemiliknya (Soebagio Soekidjan) untuk menjual saja.” Suaranya tercekat saat ia menceritakan bahwa gamelan itu dibeli oleh Soebagio untuk memenuhi kesenangan Gandor pada gamelan dan musik Jawa. Gayung bersambut, Gandor pun bersedia merawat gamelan tersebut. “Sejak tahun 1996, gamelan ini hanya dimainkan satu kali saja. Sekarang akan ditabuh untuk yang terakhir kalinya,” ujar Gandor dengan mata berkaca-kaca saat gamelan tersebut tengah dipersiapkan untuk dipentaskan terakhir kalinya bersama seniman Didik Nini Thowok pada tanggal 5 April 2016 mendatang di Rumah Lawang Ombo, Soditan Lasem. “Ini gamelan pusakanya orang Jawa dan orang Cina Lasem. Simbol persahabatan dan saling menghormati kebudayaan agung Cina, Jawa, Islam. Anak cucu Lasem harus tahu bahwa gamelan ini hebat dan akan tutup usia,” pungkasnya.
Keberadaan gamelan di Jawa ditengarai sudah muncul sejak masa Hindu Budha. Tak heran, fragmen kisah gamelan terekam di Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9. Namun, perlu dicatat bahwa masa-masa gamelan menjamur bak cendawan di musim hujan dapat ditengarai sejak masa Islam mulai menyebar di Jawa, dengan Demak sebagai pusat penyebarannya di Jawa Tengah. Ya, gamelan digunakan oleh beberapa wali (Wali Sanga) pada abad 14 sebagai media menyampaikan ajaran dan keindahan pesan-pesan ayat Al Quran untuk hidup manusia. Gamelan terutama digunakan sebagai pengantar doa dan puja-puja puji kepada Tuhan pada saat Maulud Nabi Muhammad, sampai saat ini terkenal dengan gamelan sekaten/sekati dan upacara Sekaten. Salah seorang Wali, Sunan Bonang, disebutkan menambahkan elemen rebab dan bonang dalam penggunaan gamelan di Jawa. Maka, sejak saat itu, gamelan pun biasa dijuluki dengan kata ‘kiai’.
“Ini gamelan pusakanya orang Jawa dan orang Cina Lasem. Simbol persahabatan dan saling menghormati kebudayaan agung Cina, Jawa, Islam. Anak cucu Lasem harus tahu bahwa gamelan ini hebat dan akan tutup usia.”
Sejak abad 15, pasca gamelan tenar sebagai media dakwah para Wali Sanga, gamelan mulai mendapatkan perhatian dari masyarakat pelbagai kalangan dan menyebar ke seluruh Jawa, tak terkecuali Bali serta Lombok. Pada masa pemerintahan kolonial, gamelan pun semakin marak digunakan tak hanya untuk mengiringi upacara tradisi Islam, namun mulai eksis menjadi piranti kesenian yang wajib hadir di rumah-rumah aristokrat dan orang-orang kaya mulai abad 18-19, terutama masa perdagangan candu yang masif di Jawa.
Tersebutlah kota-kota di pesisir pantai utara Jawa, setiap rumah pemimpin daerah setingkat adipati dan para pengusaha Tionghoa dapat dengan mudah ditemukan gamelan-gamelan berbahan kuningan dengan laras selendro dan pelok. Alunan musik gamelan rupanya menjadi favorit para penggede dan pengusaha sohor untuk menemani mereka melepas lelah dan bercengkerama dengan keluarga. Atau bahkan dilantunkan pula tembang-tembang Jawa untuk menyambut tamu-tamu keluarga dan tamu bisnis.
Masyarakat Tionghoa di Jawa rupanya juga menggemari gamelan. Tak hanya menggemari musiknya saja, namun masyarakat Tionghoa di pantai utara Jawa pun menggemari pertunjukan lainnya seperti wayang kulit dan wayang orang yang sama-sama menggunakan gamelan. Hal ini terjadi karena pada masa awal kedatangan orang Tionghoa ke Pulau Jawa, kebanyakan dari mereka adalah laki-laki yang kemudian memutuskan untuk menetap dan menikah dengan perempuan Jawa. Pernikahan ini menyebabkan orang-orang Tionghoa ini memiliki kontak langsung dengan kebudayaan, adat dan tradisi Jawa. Tak heran, mereka pun menyukai gamelan dan kesenian Jawa.
Berita mengenai orang Tionghoa mengadakan pertunjukan gamelan pertama kali tercatat pada dokumen peresmian Klenteng Tan Sing Ong pada tahun 1814. Disebutkan bahwa pada masa itu, Kapitan Tionghoa di Semarang yang bernama Tan Tiang Tjhing mengadakan pertunjukan gamelan lengkap laras selendro dan pelog, walaupun pada saat itu, gamelan belum populer di kalangan masyarakat Tionghoa di pesisir utara Jawa. Pada paruh waktu abad 19, gamelan seolah menjadi peralatan kesenian yang wajib dimiliki oleh masyarakat Tionghoa kelas atas, gamelan pun menjadi simbol status pemiliknya. Tak terkecuali Lasem yang merupakan kota penting pada abad 19. Pejabat pemerintahan dan masyarakat Tionghoa kelas atas pun berlomba untuk memiliki gamelan dengan bahan terbaik pada masanya. Tak heran, masih ada beberapa gamelan tua di Lasem asal abad 19 masih bertahan dalam kondisi baik sampai saat ini. Bagi masyarakat Tionghoa di Lasem pada abad 19-20, gamelan dimainkan pada setiap acara upacara tradisional Tionghoa maupun jika terdapat acara-acara keluarga.
“Di Lasem ini, sejak aku kecil, sering sekali ndenger klonengan di rumah-rumah Karangturi sini,” ujar Oma Lis (84). “Aku anak keluarga Cina miskin, jadi ndak kebayang itu dulu gimana. Cuma bisa ndenger dari luar sama temen-temnku anak pasar. Jarang bisa masuk, soale di dalam sudah rame,” kenang Oma Lis. Lilies Nio mengakui bahwa saat ini sudah sangat jarang orang Lasem di kawasan Pecinan mengadakan pertunjukan gamelan. “Masih ada keluarga-keluarga kaya lama yang punya, tapi yo susah nyari penabuh. Yang nonton yo tuo-tuo koyo Oma,” ujarnya sambil terkekeh. Di lingkungan kota tua Lasem, gamelan masih sering berkumandang pada saat perayaan hari sembahyang tradisi Cina di klenteng Cu An Kiong, Gie Yong Bio, maupun Poo An Bio.
Tak kuasa hati membiarkan gamelan keluarga Tjoo tutup usia. Bisa jadi ia akan segera berpindah tangan, keluar Lasem atau bahkan keluar Indonesia. Potret kendala pelestarian tampak nyata. Kepada siapakah tanggung jawab pelestarian ini akan dibebankan? Kepada pemilik situs atau benda pusakanya saja kah? Kepada pemerintah? Atau……